Tragedi Matinya Putra Mata Hati
(by : Yulvianus Harjono)
Putra Mata Hati akhirnya mati.
Bayi mungil yang terlahir prematur dua hari lalu itu telah menemui sang pencipta.
Meski berupaya sekuat tenaga, menjaganya di rumah hati, aku ternyata tak mampu menolak maut menjemputnya.
Aku sempat merasa sebagian diriku hilang, ikut terbawa dirinya yang naik ke surga.
Kenyataan pedih ini sungguh sesuai dengan ramalan dan intuisi.
Sungguh bodoh aku tidak bisa membaca sinyal dari Tuhan yang telah mengirimkan supernova, hal yang paling aku takutkan, melalui diri David Green beberapa hari lalu.
Betapa naifnya diriku mengharapkan mentari yang segera akan mati untuk membesarkan Putra Mata Hati.
Namun, aku patut merasa bersyukur kepada Tuhan.
Ia mengambil nyawa Putra Mata Hati pada saat yang sangat tepat.
Momen di mana ia belum tumbuh menjadi besar, apalagi dewasa.
Saat di mana ia sepenuhnya masih suci, belum terkontaminasi dosa dunia.
Tidak seperti yang aku takutkan, kematiannya ternyata sungguh tidak menyakitkan.
Sebaliknya, ia justru menebar senyum simpul sebelum berpamitan pergi untuk selamanya.
Lewat dia pula aku mendapat pesan dari Tuhan agar diriku terus bersabar.
Sabar untuk menunggu saat yang tepat sebelum aku direstui untuk merawat bayi yang baru.
Saat di mana Ia akan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktunya.
Saat yang tepat untuk memanjatkan : Puji Tuhan.
(Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Lewat perpisahan pula kita bakal menemui perjumpaan baru. Terus berputar, sehingga akhirnya langkah kita terhenti pada satu titik fana perpisahan, yaitu pertemuan dengan Sang Pencipta)
(by : Yulvianus Harjono)
Putra Mata Hati akhirnya mati.
Bayi mungil yang terlahir prematur dua hari lalu itu telah menemui sang pencipta.
Meski berupaya sekuat tenaga, menjaganya di rumah hati, aku ternyata tak mampu menolak maut menjemputnya.
Aku sempat merasa sebagian diriku hilang, ikut terbawa dirinya yang naik ke surga.
Kenyataan pedih ini sungguh sesuai dengan ramalan dan intuisi.
Sungguh bodoh aku tidak bisa membaca sinyal dari Tuhan yang telah mengirimkan supernova, hal yang paling aku takutkan, melalui diri David Green beberapa hari lalu.
Betapa naifnya diriku mengharapkan mentari yang segera akan mati untuk membesarkan Putra Mata Hati.
Namun, aku patut merasa bersyukur kepada Tuhan.
Ia mengambil nyawa Putra Mata Hati pada saat yang sangat tepat.
Momen di mana ia belum tumbuh menjadi besar, apalagi dewasa.
Saat di mana ia sepenuhnya masih suci, belum terkontaminasi dosa dunia.
Tidak seperti yang aku takutkan, kematiannya ternyata sungguh tidak menyakitkan.
Sebaliknya, ia justru menebar senyum simpul sebelum berpamitan pergi untuk selamanya.
Lewat dia pula aku mendapat pesan dari Tuhan agar diriku terus bersabar.
Sabar untuk menunggu saat yang tepat sebelum aku direstui untuk merawat bayi yang baru.
Saat di mana Ia akan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktunya.
Saat yang tepat untuk memanjatkan : Puji Tuhan.
(Setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Lewat perpisahan pula kita bakal menemui perjumpaan baru. Terus berputar, sehingga akhirnya langkah kita terhenti pada satu titik fana perpisahan, yaitu pertemuan dengan Sang Pencipta)
1 comment:
seperti yg seorang teman pernah mengatakannya, "Tuhan tidak pernah tergesa-gesa, tetapi DIA selalu tepat waktu...."
Post a Comment