Monday, November 28, 2011


Katak Akan Merindukan Bulan






Bukan rahasia lagi jika sang pangeran katak mengagumi bintang-bintang nan gemilang di angkasa.
Bintang yang cahayanya berwarnai-warni, nan kemilau temaram di malam hari.
Matahari, demikian nama bintang di Tata Surya ini yang pernah mempesonanya dan memberikan asa.
Namun, sang katak takut matahari ini. Sinarnya yang terik beberapa kali nyaris menghabisi.

Katak kini bersembunyi di malam hari, ditemani semilir angin yang dinginnya menghujam.
Hanya bintang pilihan hati yang mampu menghapus luka lamanya dan memberikannya energi.
Tapi, tidak mudah memilih yang tepat. Di Bima Sakti saja ada 200 miliar mentari bersinar temaram.
Sang katak pun gelisah. Bagaimana mungkin ia menemukan bintang yang tepat sesuai pilihan hati?

Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba ia menjumpai secercah sinar hangat di ufuk memberi harapan.
Pancaran sinar darinya sungguh unik. Ia tidak menyilaukan, namun mampu menerangi seisi malam.
Dia tidak berada jauh, jutaan ataupun miliaran tahun cahaya jauhnya dari Bumi.
Ia berada sungguh dekat, bahkan sehari-hari selalu memperhatikannya dan mengitari.

Dialah sang Dewi Bulan.
Dewi yang sejak zaman penciptaan selalu dipuja banyak mahkluk di Bumi.
Sang katak pun segera yakin, dia lah sang pemberi energi pilihan Tuhan.
Energi Bulan yang sesungguhnya menjaga kehidupan segenap makhluk Bumi, termasuk ia sendiri.

Bulan-lah yang menjaga keseimbangan energi poros Bumi, berputar di sumbu 23 derajat.
Sang Dewi pula yang mengontrol evolusi Bumi sehingga menciptakan iklim yang bersahabat.
Tanpa sang Dewi, Bumi dan mahkluk di dalamnya, termasuk sang katak akan kehilangan kendali.
Dan yang pasti, tanpanya, suasana di langit malam akan sepi dan mati.

Katak dan sang Dewi Bulan pun saling mengisi dan sama-sama mengagumi.
Katak kagum akan kesetiaan Bulan dan pancaran sinarnya yang lembut dan tidak pernah padam.
Bulan pun jatuh hati ke katak yang meski buruk rupa, namun selalu menghadirkan ceria dan nyanyi.
Cerita cinta sang katak dan Dewi Bulan ini tersiar, menjadi legenda yang mengisi waktu malam.

Karena, sesungguhnya, sang katak adalah belahan jiwa sang Dewi Bulan.
Mereka tercipta dari materi yang sama.
Bulan sesungguhnya terbentuk dari lontaran material di Bumi akibat hantaman saat masa penciptaan.
Itulah mengapa, Bulan akan selalu berevolusi mengitari Bumi dan menerangi seisinya.

Namun, karena kehendak Tuhan pula, mereka tidak ditakdirkan untuk selamanya bersama.
Lambat laun, perlahan tapi pasti, Bulan akan menjauh dari Bumi dengan laju 3,8 Cm per tahun.
Ini terjadi akibat dorongan gaya pasang surut Bumi dan tarikan dark matter yang sangat kasat mata.
Inilah yang dinamakan konspirasi jagat raya, yang diciptakan Tuhan.

Sang katak pun kembali kehilangan asa, Dewi Bulan sungguh tidak kuasa melawannya.
Terbangun dari mimpi, mereka pun terjaga dan segera menyerah dengan keadaan.
Di jagat raya ini, cinta mereka tidak akan pernah bersatu di masa yang fana.
Waktu pun berjalan, menyerah dengan keadaan, keduanya saling mengucapkan kata perpisahan.

Tetapi, selayaknya belahan jiwa, sesungguhnya tidak ada perpisahan nyata di antara keduanya.
Dari kejauhan, sang Dewi akan selalu mengamati dan menyinari malam-malam sang pangeran.
Dari Bumi pula, sang katak akan selalu bernyanyi untuk Bulan, meskipun itu amat menyayat hatinya.
Untuk itulah, sekarang dan selamanya, sang pangeran katak akan merindukan Bulan...


 (Dedicated to Adek, Dewi Bulan-ku)
Written by Yulvianus Harjono
 




 



Friday, October 21, 2011

Refind,refining,redesign and regain new hope...

Yeahhh...yealling loudy!! Sungguh gembira rasanya bisa kembali corat-coret, menumpahkan isi pikiran dan rasa di dalam blog ini. Hal yang terakhir saya lakukan tiga tahun dua bulan lalu. Wow! it's been so long time, isn' it?...
Yah, bukan apa-apa, soale password loginya baru ingat kembali hari ini setelah terlupakan sekian lama hehehe...
Nah, untuk menyegarkan dan mengembalikan semangat blogging and blogging, layaknya situs berita kenamaan umumnya (hehe padahal ini kan bukan situs berita yak?), mau tidak mau saya mengintrodusir desain dan "wajah" baru ke dalam blog ini...Desain berkarakter warna merah ini sengaja dipilih agar suasananya lebih segar dan dinamis. Layaknya buah apel washington merah yang ranum, segar dan menggoda...Seperti red scarlet Scuderia Ferrari yang melesat secepat angin. Semoga ini bisa menjadi semangat baru buat kita semua...

Salam hangat,
Yulvianus Harjono
www.facebook.com/yulvianus

Sunday, August 17, 2008

Nostagia Angkringan di Bandung


Here we goes....
Serve a new stories for u all!!
Enjoy it!!

Primordial...Sebuah kata yang sering kita dengar sehari-hari di telinga kita...
Dalam buku ajar, berbagai literatur, dan wejangan guru-guru PPKN yang sering kita dengar, chauvinis (kesukuan, dsb) adalah hal yg tidak dianggap tdk baik...
Pdhl, faktanya, chauvinis ini demikian nyata di dalam kehidupan kita sehari-hari...Dia menjelma dlm berbagai bentuk. Nepotisme, persahabatan, sampai ke hal kecil macam frenchise alias jaringan warung makan ala tradisional punya!! Sebut saja burjo, warung padang, warteg, lapo, dan warung nasi sunda...
Lidah kita pun secara sadar atau tidak sadar menuntun kita ke gejala primordial.
Gak percaya?? Tengok ke diri pribadi sendiri aja. Pernahkah suatu ketika kita berada di suatu daerah (di luar neigborhood atau t4 kelahiran), mesti merindukan tempat2 dimaksud...Bukan hanya jenis makanan, tetapi suasana yg mengantarkan kita ke romantika nostalgia...
Baru2 ini saya tengah merasakannya....
Sebuah kesan mendalam, nostalgia, yg muncul dari sebuah gerobak dorong yg populer : angkringan. Di Bandung, tempat makan khas tradisional dari daerah jawa (jateng dan jatim) ini memang tdk-lah common. Dan, saya pun sebelumya tdk pernah menyangka warung yang disebut HIK (Hidangan Istimewa Kampung) di Solo atau dikenal pula dgn nama Wedangan di bagian jawa lainnya ini betul2 eksis di ibukota priangan ini!!!
Adalah reuni pula yg mengantarkan saya ke tempat makan favorit saya di jaman perjuangan (kuliah) dulu ini. Tempat nongkrong paling asyik ini ditunjukkan seorang kawan dari kawan. Ia mengambil program doktor di ITB. Seorang jawa (maaf primordial) tulen pula..
Tidak disangka, di deket kawasan Balubur (ITB) ternyata berdiri sebuah angkringan. Selama saya tinggal 3 thn di Bandung, tdk pernah sadar ternyata ada juga angkringan. "Memang baru-baru ini (buka)," ujar kawan saya seolah-olah menjawab keheranan saya...
Rasa antusiasme sangatlah meluap2 saat tahu dan berpindah ke angkringan itu.
Apalagi, bbrp menit sebelumnya, saat nongkrong berempat (orang) di tempat sebelumnya, Jumat malam itu, kami sampai harus menelan ludah. Bayangkan, bisa2nya kami diusir dari sebuah warung makan tenda lokal krn si pelayan beralasan warung itu diantre!!! Untung saja, kami2 ini sabar dan berintelektual tinggi (caelah) sehingga tdk tersinggung dgn pengusiran itu...
Sungguh, sebuah perlakuan yg tidak ramah!!!
Akhirnya, asa utk meluangkan waktu bereuni ria di kota "orang" dilanjutkan ke tempat nongkrong lainnya : si warung angkringan!!

Bentuknya sungguh tidak jauh beda dengan angkringan2 pada umumnya. Lengkap dgn gerobak, roda, kursi2 panjang, dan tikar2 yang digelar buat "lesehan"...Menu yang disajikan pun tdk jauh beda. Ada sang pamungkas sego kucing dgn ragam variasi isi (meski yg satu ini terlihat lebih kecil) dengan berbagai lauk macam jeroan seperti sate usus dan ati, serta gorengan. Tidak lupa, berbagai minuman penghangat maca wedang jahe, teh, dan kopi. Dan, semuanya itu disajikan hangat berkat anglo tradisional yg ikut dibawanya....
Tidak terasa, satu persatu lauk, nasi kucing pun habis tersantap. Tidak terasa jika malam itu tengah dingin-dinginnya. Dihangatkan suasana nostalgia dan keakraban para penikmat angkringan. Dosen, wartawan, PNS, guru, sampai mahasiswa (ITB tentunya) cair dalam suasana
yang hangat saat itu. Semua saja bisa bebas tertawa hingga sumpah menyumpah ala jawa. Tidak ada table manor, tdk ada sungkan kaki kita di angkat hingga ke atas bangku. Tdk ada yang akan menegur atau mengingatkan kita terlalu lama di sana...
Semuanya tersaji dalam bungkus egaliter dan kehangatan bersamaan masuknya seteguk jahe susu hangat di kerongkongan saya. Pikiran saya pun warping ke suasana delapan thn lalu saat masih menimba ilmu di Solo. Seorang kawan bercerita ttg pengalaman berkeliling dunia saat menimba ilmu. Namun, tdk pernah bisa menandingi kesan spesial seperti kehangatan saat "nongkrong" di warung sederhana macam ini ini di sebuah daerah di Yogyakarta....
Perasaan sama yg saya alami. Bagi saya sendiri, angkringan, HIK, wedangan, atau apa pun orang menyebutnya, bukan sekedar sebuah tempat makan yang menghilangkan dahaga. Di tempat inilah saya pernah menghabiskan waktu bersosialisasi, belajar bahasa jawa, dan memahami kultur jawa. Tempat yang paliung nikmat untuk curhat sekaligus pula belajar. Tempat yang pernah saya gunakan bersama kawan2 untuk merancang sebuah ide liar ttg "pergerakan" di kampus....Saat di Solo pun, tdk pernah terpikir utk jenuh menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan sampai menunggu ayam berkokok di tenpat ini bersama kawan2...
Di sekitar Kampus Universitas Sebelaws Maret (UNS) ada sejumlah spot angkringan favorit saya. Sebut saja di belakang NH yg kadang dilengkapi televisi saat hari2 ramai bola, ada pula di depan kampus, di belakang kampus, di dekat Bonbin, di belakang kampus STSI Surakarta, Pak Gimun "Asrama UNS" dan yang tersering Pak Slamet di depan Kos Argo Lawu di Ngoresan, Jebres (miss the "rica-rica ayam")....
Sebuah tempat saya mengasah rasa, karsa, sekaligus intelektualitas...Sebuah melting pot yang menyatukan keragaman pola pikir, bahasa, suku dalam satu ragam budaya primordialisme dan egaliter!!! Hal-hal besar yang hanya muncul dari sebuah kesederhanaan tempat warung makan yang murah dan meriah.
Sebuah gugatan dan refleksi ttg makna primordial itu sendiri....

(foto hanyalah ilustrasi..dasar sial poto-nya terhapus en lum sempet mampir ke sana lagi)

Welcome Back!!!

Fuihh, it's been so long time since the last posted that i had made a half month ago...
Just like i had ever worried, it seems that I had neglecting this site....
Many ideas and topic has acrrosed in this mind. But, unusual, dunno yet find how to transfer it into a good story. Seemly i have stopped to using my sharp "heartpen" to sharing mind and other actually feeling...
Common says it a vacum period...
"Never open, share ur feelings, at blog!" my friend said. Yup, he's right...It's dazzling, but unfortunately, everything that i ever wrote on it (blog) such as poet or poem, become anticlimacs! Can't explain it...But, actually, it is the main reason...
So..,even someone had request me for make an another poet, i thinks it's too difficult to accept. Because, i had promise, not become too melankolic person again...

But, i'm here now...In a middle of routinity that will never end...
Even more, it strictly at the day of Independence! A special day for Indonesian and off course our ancestors...Also an awakening days for re-born, re-boost and regain hope!!!

So, i choose to still using my heartpen to write...welcome new spirit!!

Spesial ”Delivery Order” Sambangi KPU


Angen-angen

Spesial ”Delivery Order” Sambangi KPU

Kesibukan terlihat di Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung, Jalan Soekarno-Hatta No. 260, Bandung siang itu. Orang pun lalu lalang di kantor yang akhir-akhir ini lagi ramai-ramainya dikunjungi menyusul hajatan politik pemilihan wali kota Bandung. Mulai dari petugas pemilihan suara, aparat intelejen kepolisian, pengurus partai politik, hingga insan pers silih berganti berdatangan.

Namun, jarang-jarang, KPU ini didatangi petugas layanan pesan antar (delivery order). Apalagi, di siang-siang bolong dan saat itu kebetulan memang tidak ada satu pun anggota KPU yang hadir di kantor. Kelimanya tengah sibuk meninjau hasil penghitungan rekapitulasi suara di tingkat Panitia Pemilih Kecamatan atau ada keperluan lain di luar.

Dari areal parkir, sore itu, seorang pemuda tergopoh-gopoh turun dari motor yang ditumpanginya sambil menggendong sebuah kotak berukuran besar sekitar 1 x 0,5 meter. Kotak berwarna perak mengkilap itu diikatkan ke tubuhnya dengan seutas panjang tali rafia berwarna merah. Petugas delivery order yang biasa membawa pan pizza atau kotak makanan bertumpuk-tumpuk pun dijamin tidak bakalan berani bertindak demikian.

Orang-orang di sekeliling, termasuk Kompas, pun terheran-heran dibuatnya. Apa pasal? Tidak lain ini karena kotak alumunium yang ditentengnya itu bukanlah pizza atau kerupuk kulit yang bisa meniadakan lapar seseorang. Melainkan, tumpukkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK)! Oh.. Si pemuda pun berseloroh,” Biar cepat dan unik atuh. Lagian, gak perlu ribet,” ucapnya sambil terkekeh-kekeh dan ngacir ke dalam kantor KPU.

Memang sih, sekilas ini bisa dimaklumi. Apalagi, si pemuda ini datang dari jauh-jauh, yaitu PPK Ujungberung. Dengan alasan memburu waktu, gaya mengantar kotak berita acara yang diadopsi dari petugas delivery order pun dipraktikkan. Cepat, efesien, dan murah. Tidak terjebak macet pula. Seandainya saja KPU Kota Bandung mengadakan lomba unik-unikan pengantaran berita acara, PPK Ujungberung ini dijamin jadi jawara!

Bagaimana tidak? Kalau di PPK lainnya, pengantaran berita acara ini diantarkan pakai mobil lengkap dengan kawalan polisi dari Kepolisian Sektor. Malahan, PPK dari Buah Batu beberapa jam sebelumnya datang dengan personil lengkap. Ada Ketua PPK, anggota PPK, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kecamatan, sampai aparat polisi plus kendaraan khususnya. Sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kantor KPU, mereka sempat bernasis ria dengan berfoto-foto. ”Cheese,” teriak si pengambil foto. Dan, tidak lupa, kotak berisi berita acara diapit di tengah-tengah...

Memang, tidak ada aturan yang mengharuskan pengantaran ”barang” berharga ini harus pakai standar protokoler tertentu. Apalagi, larangan mengantar ala delivery order. Namun, seperti diungkapkan Aa Terjana, petugas penerima berita acara dari PPK di KPU Kota Bandung, pengantaran berita acara itu wajib diantarkan Ketua PPK. Ada baiknya meminta pengawalan polisi biar aman. ”Ruangan ini saja selalu dikawal dan terkunci rapat,” tuturnya.

Sebab, berita acara inilah yang akan dijadikan dasar acuan pleno penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kota Bandung pada Jumat (15/8) siang ini. Satu saja kotak berisi berita acara yang tersegel lengkap oleh petugas PPK setempat itu tidak terantarkan, bisa-bisa jadwal pleno ini mundur atau batal. Hmm, bayangkan jadinya jika berita acara yang dibawa petugas PPK Ujungberung itu ”salah antar” atau dicuri di tengah jalan. Bisa-bisa warga Bandung ini batal punya wali kota...(Yulvianus Harjono)

Friday, July 25, 2008

Warna-warni ”Pop” di Pilwakot Bandung


Warna-warni ”Pop” di Pilwakot Bandung

Fathina Galib (20), mahasiswa Universitas Padjadjaran, terheran-heran saat menyaksikan pertama kali deretan poster di sebuah kawasan di Buah Batu. ”Dari jauh, saya pikir itu (poster) promosi film baru Project Pop. Barangkali aja pemainnya baru. Eh, tau-tau-nya, ternyata calon wali kota (Bandung),” tuturnya sambil tertawa, Jumat (25/7).

Fathina bisa jadi bukanlah orang pertama yang kecele poster itu. Siapa pun yang pertama kali melihatnya, pastilah akan berpikiran sama. Adalah pasangan calon wali kota Bandung Taufikurahman - Triesnahadi (Abu Syauqi) sang pembuat sensasi itu. Di dalam poster itu, kedua pasangan ini berpose layaknya sepasang lakon film action lengkap pula dengan tipografi yang lazim muncul di poster sinema.

”Trendi” demikian bunyi judul besarnya di poster itu. Di sub-judul, muncul kata-kata ”Menuju Bandung yang Kreatif, Nyaman, dan Sejahtera”. Lengkap sudah kelaziman poster film lewat munculnya label informatif tagline (jadwal) yang berisi : ”Coming Soon Bandung, 10 Agustus 2008 (hari H pencoblosan Pilwalkot Bandung) pada bagian bawah poster.

Isi poster ini seolah mendobrak stigma politik dari unsur-unsur konvensional yang sarat formalistik dan kekauan. Warna pop atau produk kebudayaan massa kental terlihat dari pernak-pernik kampanye pasangan calon yang diusung Partai Keadilan Sejahtera ini. Saat dan menjelang kampanye, pendukung meneriakkan yel-yel yang nadanya meminjam lagu ”We Will Rock” dari grup band kenamaan Queen.

Di berbagai sudut kota, khususnya di dekat-dekat kampus dan pusat perbelanjaan, terpampang baliho besar bertuliskan ”Trendi” yang tipografinya ”membajak” desain logo produk operator telepon seluler : Flexi, lengkap dengan warna khas merah dan hijaunya. Desain khas inilah yang paling berkesan bagi Fathina Galib (20), mahasiswi, berbicara tentang pasangan calon ini. ”Soalnya, banyak ditempel di angkot,” ucapnya yang menilai tipografi nama pasangan calon ini sangat eye catching.

Pasangan calon lainnya pun tidak mau ketinggalan. Meski sudah cukup populer di mata masyarakat Bandung, Dada Rosada yang incumbent itu tetap memanfaatkan budaya pop untuk berkampanye. Medianya lebih masif, yaitu album musik. ”Da da da” demikian judul album yang berisi tujuh lagu itu. Satu lagu, yaitu Burung Berkicau dicipta langsung olehnya. Sisanya dihasilkan sekaligus dinyanyikan Doel Sumbang.

Pembelotan politisi

Video klip-nya pun kerap ditayangkan di sejumlah stasiun televisi swasta lokal, menjelang dan selama masa kampanye ini. Agar menarik, model-model yang digunakan di dalam video klip ini rata-rata adalah remaja. Meski, lagunya dinyanyikan dalam bahasa Sunda. di dalam album dan video klip-nya, Dada tampak mengenakan setelan jaket kulit. Tidak lazimnya dikenakan politisi yang umumnya berpose formal dengan jas atau safari.

Seolah-olah menjadi ”pembelotan” kelaziman kostum politisi. Seperti kita ketahui bahwa jaket kulit ini ikut menjadi simbol budaya pop di era awal Rock n’ Roll, tahun 1950-an. Lewat kostumisasi itu, Dada yang diketahui merupakan calon wali kota paling senior, 61 tahun ini, tampak sedikit lebih muda. Pasangan calon lainnya, Hudaya-Nahadi, sebetulnya, juga mencoba mendongkrak popularitas mereka lewat unsur budaya populer, menerbitkan album lagu. Tetapi, sayangnya, itu belum terealisir hingga kini.

Menurut Hendy Hertiasa, pengajar Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, warna budaya populer dan kreatif yang muncul dalam Pilwalkot Bandung ini adalah fenomena baru di dunia politik. Warna yang dimunculkan ini tidak terlepas upaya pencitraan baru pemimpin lama. ”Kalau terlalu formal (kaku), image-nya di masyarakat akan buruk. Orang-orang lama ini kan rentan dengan image di masa lalu,” tuturnya.

Penggiat budaya kreatif yang aktif di Common Room ini melihat, masuknya pop di dalam kampaye Pilwalkot Bandung ini menyiratkan pula, target audiens yang dibidik terutama adalah pemilih pemula atau remaja. ”Di Bandung, pemilih pemula ini kan juga mewakili kelompok urban. Pelajar, mahasiswa, dan remaja. Jumlahnya itu tidak sedikit,” tuturnya. Dan, memberi sinyal, politik bukanlah benda mati. Tetapi, juga tumbuh dalam budaya masyarakat (dalam hal ini budaya pop dan kreatif).(Yulvianus Harjono)

Tuesday, July 22, 2008

Menguji Ketangguhan ”Lalakon” dengan Santun

Pilwalkot Bandung

Menguji Ketangguhan ”Lalakon” dengan Santun

”Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya,” tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda dalam Diskusi Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Bandung yang diadakan Harian Kompas Jabar bekerjasama dengan Bandung Spirit, Senin (21/7).

Dalam konteks ini, tentu saja diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung ke depan yang bersifat mengayomi, tegas, visioner melihat persoalan, namun santun dan memiliki keberpihakan pada adat tradisi. Mengingat, sebagai ibukota tatar priangan, Kota Bandung dikenal memiliki masyarakat yang santun dan ramah. Juga, toleran dan terbuka terhadap ide perubahan.

Makanya, menurut Tjetje Hidayat Padmadinata, pengamat politik, pertarungan di dalam Pilwakot ini tidak ubahnya kompetisi para lalakon (tokoh) di Kota Bandung. Jadi, bukan sebuah ”perang” politik. ”Jangan ada kebencian dan permusuhan. Kampanye pun janganlah jor-jor-an.” tuturnya. Strategi pemenangan harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan santun. Adu pemikiran, bukan kekuatan massa.

Dalam rangkaian pengalaman Pilkada, ketokohan dan pencitraan ini terkadang memang lebih menentukan daripada faktor infrastruktur (kekuatan partai politik). Survei yang dilakukan Litbang Kompas pun ikut menegaskan hal ini. Karakter yang diinginkan responden dari calon Wali Kota Bandung adalah jujur (27,4 persen), peduli kepada rakyat (23,9), tegas (7,7) dan berwibawa (6,5).

Posisi incumbent, ucap Tjetje, memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, menaikkan popularitasnya. Namun, di lain pihak, menurunkan citranya di masyarakat bila kinerjanya itu buruk. Dukungan mayoritas kursi di legisiatif (25 kursi) bagi pasangan Dada Rosada-Ayi Vivananda belum tentu jadi jaminan kesuksesan. Berkaca pada kasus Pilkada Jabar, tokoh-tokoh baru dan muda justru mendapat simpati lebih dari pemilih.

Percaya diri

Kondisi inilah yang menimbulkan kepercayaan diri pasangan E. Hudaya Prawira-Nahadi. Terang-terangan Hudaya menyatakan, dua kunci strategi kampanyenya ke depan adalah pencitraan di media dan dukungan relawan. ”Makanya, program kami tidak akan berupa orasi di ruang terbuka dan semacamnya,” ucapnya. Sistem door to door dalam memikat calon pemilih akan lebih dikedepankan. Ia optimis, kehadirannya sebagai calon independen di Pilwakot ini akan memincut segmen calon pemilih apatis alias golput.

Saat ditanya apakah sistem politik tanpa infrastruktur ini otomatis berkonsekuensi pada biaya, ia menjawab, ”Justru, tidak ada yang berlebihan. Apa adanya saja. Kami kan bukan diusung parpol. Tidak ada deal-deal politik. Yang ada adalah deal agar membawa Bandung ke arah yang lebih baik,” tuturnya.

Pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi pun tidak ketinggalan langkah. Dalam diskusi di Graha Kompas-Gramedia itu, Taufikurahman yang juga dosen di ITB, dengan lugas menyatakan akan meminta dukungan dari elemen perguruan tinggi dan civitas akademika di dalamnya. Ini tentu akan menambah ”amunisi” dukungan mengingat Partai Keadilan Sejahtera merupakan parpol pendulang suara terbesar dalam Pemilu 2004 lalu di Kota Bandung

Seolah berkaca dari pengalaman Pilkada Jabar, pasangan Dada-Ayi lebih banyak ”turun” ke masyarakat dalam berkampanye. Kian rajin menemui basis pendukungnya di berbagai kelompok masyarakat. Kesibukannya menjelang dan masa kampanye itu bahkan disebut-sebut melebihi kepadatan jadwalnya saat masih aktif sebagai pejabat Wali Kota. Pengalamannya mengenal dan juga dikenal lebih dulu oleh publik Kota Bandung tentu menjadi modal yang membedakan dengan kedua pasangan calon lainnya.

Namun, hasil akhir tentu akan berpulang kepada masyarakat pemilih. Lakon mana yang akan memenangkan kompetisi politik hanya akan diketahui pada hari pencoblosan, 10 Agustus mendatang.(Yulvianus Harjono)