Aku, Matahari dan Bayangan Hitam
(by : Yulvianus Harjono)
Aku mengagumi matahari. Ia sudah ada di jagad raya ini sejak 5 miliar tahun lalu.
Lebih tua dari benda apa pun di tata surya ini.
Di bumi, ia mengingatkanku dengan langit biru yang diciptakan dari sinarnya.
Mengingatkanku dengan hujan yang diciptakan dari panasnya.
Mengingatkanku dengan indahnya pelangi dan halo yang tercipta dari bias pancarannya.
Ia menciptakan evolusi, rotasi, dan alam sebagai sumber kehidupan mahkluk hidup.
Ia pun sanggup meluluhkan es-es mata hati yang beku.
Bongkah es dari dasar samudera antartika yang sangat dingin. Es terdingin di muka bumi ini.
Es yang tidak terjamah oleh ketamakan manusia sekalipun.
Tetapi, aku takut matahari. Ia menciptakan bayangan gelap.
Bayangan hitam menakutkan yang selalu muncul bersamaan matahari itu ada.
Sebuah bayangan yang besar ketika matahari berada di ufuk.
Bayangan yang terasa dekat, membuat kita sesak, ketika matahari tepat di atas ubun-ubun.
Bayangan pernah tiba2 menikamku, ketika aku lengah, tengah terperangah, dengan indahnya matahari. Bayangan itu pula yang telah membunuhku. Merenggut nyawaku.
Menyedotnya ke dalam lubang hitam yang bahkan sanggup meremukkan sinar kosmik.
Meski, tanpa matahari sendiri sempat sadari.
Aku ingin berlari. Bukan Mengejar Matahari seperti epilog film milik Rudi Soejarwo.
Sebaliknya, aku justru ingin berlari berlawanan arah matahari.
Berlomba, berpacu, berpeluh, mencoba meninggalkan bayanganku sendiri.
Berlari ke arah ufuk timur. Tempat di mana matahari itu diciptakan di bumi.
Aku berlari, supaya tepat waktu, menyampaikannya agar jangan menciptakan bayangan.
Tetapi, itu tidak mungkin. Kini, aku hanya bisa berlari, bersembunyi di balik malam.
Berlindung dari cahaya bulan yang tidak mungkin menciptakan bayangan.
Ditemani bintang-bintang, kawan yang menarik tetapi sangat angkuh dan dingin.
Aku rindu matahari. Tetapi, nyali ini terlampau ciut untuk melawan bayangan.
Saat masih terlelap ditemani hawa dingin malam, aku tiba-tiba tersentak.
Melihat terang sinar menyala di angkasa nun jauh di sana. Angkasa yang hanya bisa dijangkau lewat kata-kata, bukan wicara.
Ternyata, ia matahari. tetapi, sinarnya sangat janggal. Tidak seperti matahari lainnya. Warnanya jingga, bukan putih.
Di alam kosmik, ia dijuluki sang bintang senja. Bintang istimewa yang lahir dari massa tidak biasa.
Dan, yang terpenting, sinarnya tidak menciptakan bayangan.
Sinarnya terasa lembut, tidak menyilaukan. Membuat aku sanggup menatapnya berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu dengan mata telanjang. Aku ingin pindah ke planet itu. Agar, selalu dekat dengan matahari senja yang membuat aku bertahan hidup, bukan justru mati.
(Dedicated to ISA, Sang Matahari Jingga)
Hak cipta ada pada Yulvianus Harjono (dimohon untuk tidak mengutipnya).
(by : Yulvianus Harjono)
Aku mengagumi matahari. Ia sudah ada di jagad raya ini sejak 5 miliar tahun lalu.
Lebih tua dari benda apa pun di tata surya ini.
Di bumi, ia mengingatkanku dengan langit biru yang diciptakan dari sinarnya.
Mengingatkanku dengan hujan yang diciptakan dari panasnya.
Mengingatkanku dengan indahnya pelangi dan halo yang tercipta dari bias pancarannya.
Ia menciptakan evolusi, rotasi, dan alam sebagai sumber kehidupan mahkluk hidup.
Ia pun sanggup meluluhkan es-es mata hati yang beku.
Bongkah es dari dasar samudera antartika yang sangat dingin. Es terdingin di muka bumi ini.
Es yang tidak terjamah oleh ketamakan manusia sekalipun.
Tetapi, aku takut matahari. Ia menciptakan bayangan gelap.
Bayangan hitam menakutkan yang selalu muncul bersamaan matahari itu ada.
Sebuah bayangan yang besar ketika matahari berada di ufuk.
Bayangan yang terasa dekat, membuat kita sesak, ketika matahari tepat di atas ubun-ubun.
Bayangan pernah tiba2 menikamku, ketika aku lengah, tengah terperangah, dengan indahnya matahari. Bayangan itu pula yang telah membunuhku. Merenggut nyawaku.
Menyedotnya ke dalam lubang hitam yang bahkan sanggup meremukkan sinar kosmik.
Meski, tanpa matahari sendiri sempat sadari.
Aku ingin berlari. Bukan Mengejar Matahari seperti epilog film milik Rudi Soejarwo.
Sebaliknya, aku justru ingin berlari berlawanan arah matahari.
Berlomba, berpacu, berpeluh, mencoba meninggalkan bayanganku sendiri.
Berlari ke arah ufuk timur. Tempat di mana matahari itu diciptakan di bumi.
Aku berlari, supaya tepat waktu, menyampaikannya agar jangan menciptakan bayangan.
Tetapi, itu tidak mungkin. Kini, aku hanya bisa berlari, bersembunyi di balik malam.
Berlindung dari cahaya bulan yang tidak mungkin menciptakan bayangan.
Ditemani bintang-bintang, kawan yang menarik tetapi sangat angkuh dan dingin.
Aku rindu matahari. Tetapi, nyali ini terlampau ciut untuk melawan bayangan.
Saat masih terlelap ditemani hawa dingin malam, aku tiba-tiba tersentak.
Melihat terang sinar menyala di angkasa nun jauh di sana. Angkasa yang hanya bisa dijangkau lewat kata-kata, bukan wicara.
Ternyata, ia matahari. tetapi, sinarnya sangat janggal. Tidak seperti matahari lainnya. Warnanya jingga, bukan putih.
Di alam kosmik, ia dijuluki sang bintang senja. Bintang istimewa yang lahir dari massa tidak biasa.
Dan, yang terpenting, sinarnya tidak menciptakan bayangan.
Sinarnya terasa lembut, tidak menyilaukan. Membuat aku sanggup menatapnya berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu dengan mata telanjang. Aku ingin pindah ke planet itu. Agar, selalu dekat dengan matahari senja yang membuat aku bertahan hidup, bukan justru mati.
(Dedicated to ISA, Sang Matahari Jingga)
Hak cipta ada pada Yulvianus Harjono (dimohon untuk tidak mengutipnya).
No comments:
Post a Comment