Tuesday, May 13, 2008

Gitar, Personafikasi Kaum Muda


Gitar, Personafikasi Kaum Muda...

(by : Yulvianus Harjono)

”Bagi anak muda atau remaja pria, gitar merupakan simbol pemberontakan terhadap orangtua dan komunitas. Menciptakan kegaduhan untuk menyatakan : inilah kami, dengarkanlah kami...” Demikian teori Alex Ross, kritikus musik terkemuka dari majalah terbitan Amerika Serikat, The New Yorker.

Lebih satu dasawarsa sejak ia mengemukakan teorinya itu. Namun, hingga kini relevansinya masih terasa. Sejak ditemukan 4 ribu tahun silam di zaman Babylonia, dari alat bernama plagues, fungsi gitar kian meluas dan dibawa ke berbagai peradaban dunia. Gitar pun kini punya banyak simbol, mulai dari pemberontakan, pengharapan, hingga alat identifikasi kaum muda.

Soraida Martinez, pelukis verdadisme asal Puerto Rico, memaknai gitar sebagai simbol pengharapan. Di tengah suasana kekacauan ekonomi di negara dunia ketiga, gitar menjadi satu-satunya alat budaya untuk menentramkan jiwa yang kehilangan harapan. ”Melodi gitar itu sendiri menyejukkan kita ketika ada pengharapan dan membayangi kita ketika tidak ada harapan,” ucapnya dalam epilog karyanya yang dibuat tahun 2003.

Pada zaman modern, gitar menjadi simbol seni dan budaya pop. Dibawa maestro-maestro dari zaman ke zaman macam Scotty Moore, Jimi Hendrix, Steve Howe, hingga Joe Satriani, popularitas gitar terus meningkat. Di Indonesia, era pop gitar terutama terasa sejak kehadiran teknologi gitar elektrik. Konser-koser yang menghadirkan Dewa Bujana, Tohpati, atau I Wayan Balawan selalu penuh sesak dipadati anak-anak muda yang tengah gandrung gitar elektrik.

”Tidak gaul kalau tidak bisa main gitar,” ucap Sandy (25), salah seorang pehobi gitar yang juga mantan anggota suatu band kampus di Bandung. Bersama band-nya, ia aktif tampil dari satu kafe ke kafe lainnya membawakan musik top fourty atau sesekali lagu pop hasil ciptaan sendiri. Gitar baginya bukanlah semata alat pergaulan, melainkan juga media untuk mencapai ketenaran, impiannya saat ini.

Feminisme pada gitar

Sugeng, pehobi gitar lainnya, punya pandangan filosofis unik terhadap alat musik melodi yang satu ini. Baginya, kehidupan sehari-hari, misalnya pacaran, layaknya gitar. ”Kalau kekencangan, bisa putus. Kalau kekendoran, justru gak ada ’nadanya’,” tuturnya di dalam sebuah weblog. Entah terpengaruh gerakan feminisme, emansipasi wanita, atau tidak, faktanya saat ini gitaris tidak lagi didominasi kaum adam.

Tidak sedikit kaum hawa remaja yang hobi menekuni gitar. Salah satunya, Astrie Kharismadewi (22), alumnus Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung. Pentolan grup band Astree and Leaves ini mahir bermain gitar akustik disamping synthesizer. Ia belajar gitar secara otodidak sejak sekolah dasar. Keponakan Andi ”Rif” ini menjadikan gitaris Rif, Magi, sebagai salah satu gurunya.

Menurutnya, gitar merupakan media untuk mencurahkan rasa, emosi, dan pikiran. ”Saya tidak bisa buat lagu kalau tidak pakai gitar. Lewat senar-senar melodi saya lebih bisa mengukur yang ada di pikiran dan menuangkannya dalam streaming (lagu),” ucap wanita yang akrab disapa Acid ini. Baginya, gitar bisa menjadi media komunikasi dengan penonton. Mengungkapkan pesan emosi ketika ia tengah marah, gundah, atau pun terlarut dengan romantisme.

Untuk menghasilkan performa yang baik sebagai alat curahan ekspresi, baginya, gitar harus diperlakukan lebih ”manusiawi”. ”Saya itu termasuk orang yang suka ngajak ngomong gitar. Berkarat atau berdebu saja, dia akan mudah sakit. Rasanya pun berbeda ketika dimainkan,” tutur vokalis Astree and Leaves yang terakhir manggung di Parijs van Java, akhir bulan lalu ini. Ia mempunyai dua gitar kesayangan, satu dari merek pakamine tahun 1995 warisan Andi Rif dan kedua dari merek Sony Akustik yang ia namai ”Carlos” yang kini tengah terbaring ”sakit”.

Lebih dari politik

Bagi mayoritas remaja pehobi gitar, musik itu jauh lebih menarik daripada politik. Gitar itu tidak berbohong dan bisa memberi empati, menghibur, publik (penonton). Hal yang langka terjadi pada hal bernama politik. ”Gitar dan musik itu lebih mudah dipahami. Sumber inspirasi dan membuat candu. Music means world (musik adalah duniaku),” ucap Acid.

Tingginya pengaruh musik, khususnya gitar, bagi remaja ini lalu dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai strategi menyampaikan nilai-nilai luhur agama. Melalui kursus gitar, remaja diperkenalkan analogi symphoni nada-nada gitar sebagai alat harmoni dalam keluarga. Bagaimana nada-nada gitar berbeda-beda itu bisa dipadukan menjadi rangkaian harmoni yang indah layaknya pertunjukkan orkestra. Membuktikan sekali lagi, gitar itu punya seribu makna dan manfaat.(Kompas Copyright)

1 comment:

Anonymous said...

Mas suka maen gitar dunk..
ajarin dunk..
Pleasee..

mas, contek personafikasi gitarnya ya...