Tuesday, May 27, 2008

Phoenix probe's descent to Mars




Orbiter captures Phoenix probe's descent to Mars


By Irene Klotz


PASADENA, California (Reuters) - A sharp-eyed Mars orbiter snapped an image of sister probe Phoenix descending through Martian skies toward a polar landing site to search for water and assess conditions for life, mission managers said on Monday.

Phoenix touched down at 4:53 p.m. PDT (7:53 p.m. EDT/2353 GMT) on Sunday, becoming the first spacecraft to reach a polar region of Mars. Problems during descent doomed NASA's first polar lander in 1999.

The unprecedented image, taken by the Mars Reconnaissance Orbiter as a result of careful planning and good luck, shows the small probe dangling beneath its parachute.

Features of the planet's face, including polygon-shaped patterns in the frozen arctic soil, can be seen faintly in the background.

The shapes are of interest to scientists who plan to use Phoenix to dig beneath what is expected to be a thin layer of soil to sample underlying ice. They want to learn if the water was ever liquid, which is believed to be necessary for life.

So far, the Phoenix science team has had only a tantalizing glimpse of the landing site from an onboard camera that has completed only a low-resolution sliver of a planned 360-degree panoramic image.

The probe is using two satellites -- Mars Reconnaissance Orbiter and Mars Odyssey -- to communicate with controllers on Earth.


"We're particularly interested in seeing what's in our digging area," lead scientist Peter Smith told reporters at the Jet Propulsion Laboratory in Pasadena, which oversees the mission.

Cracks in the ground are a sign of changes in underlying ice, Smith said. Scientists believe the cracks are fresh because they are not covered with the fine red dust that permeates Mars' atmosphere.

Checks on Phoenix science instruments and an assessment of the landing site will continue throughout the week. Science operations, which are being overseen by the University of Arizona in Tucson, are expected to begin in June.

Phoenix completed a 10-month, 420-million-mile (676-million-km) voyage from Earth with a do-or-die plunge through the Mars atmosphere and a safe touchdown in the northern Arctic circle.

Over the next three months, scientists want to bore into the ground and study water and soil samples to determine if conditions were suitable to support life.

In addition to determining if the water was ever liquid, scientists want to find out if it holds any organic matter.

The Viking landers in the 1970s and early 1980s conducted similar tests on surface soils. Scientists later determined solar radiation, which flows virtually unimpeded by the planet's thin atmosphere, creates a sterile environment as it bombards the ground.

Subsurface conditions, however, might provide habitats for microbes and bacterial life to flourish on Mars, as they do in extreme environments on Earth.

For the past decade, NASA has been searching for signs of past water on Mars with a fleet of orbiters and a pair of rovers on the ground. The detection of subsurface frozen water in 2002 by Mars Odyssey prompted scientists to propose the Phoenix mission to investigate.

(Editing by Eric Walsh)


Source : Reuters

No Yulvi Wrote this time...Give it to the Pro...

Iptek
Ninok Leksono
PHOENIX DAN KESENJANGAN BUMI-LANGIT

"Hanya lima dari 11 upaya pendaratan (wahana dari) planet kita di
Planet Merah (Mars) yang berhasil. Dalam mengeksplorasi alam semesta,
kita menerima risiko (tersebut) sebagai ganti dari imbalan ilmiah
besar." Ed Weiler, Wakil Administratur NASA (www.nasa.gov).
Setelah melanglang semesta sejauh hampir 700.000.000 kilometer,
wahana antariksa Phoenix, yang diluncurkan 4 Agustus 2007, Senin
(26/5) pagi WIB mendarat di Planet Mars. Phoenix-dari nama burung
perkasa dalam mitologi-mendarat di kutub utara Mars untuk menguji satu
lokasi yang diduga menyimpan air beku yang bisa dijangkau oleh lengan
robotnya.
Inilah prestasi antariksa yang kembali ditorehkan AS. Meski misi
ke Mars bukan yang pertama, misi kali ini memiliki kerumitan
tersendiri. Phoenix lolos setelah harus melalui fase akhir sebelum
mendarat (descent) yang tidak mudah.
Phoenix segera mengirimkan berita melalui sinyal radio ke Bumi.
Sinyal berkecepatan cahaya 300.000 kilometer per detik perlu sekitar
15 menit untuk menempuh jarak dari Mars keBumi setelah direlai via
wahana orbit Mars Odyssey. Di Bumi, sinyal diterima di stasiun antena
Deep Space Network, Goldstone, California.
Inilah pertama kalinya dalam 32 tahun, juga ketiga kalinya dalam
sejarah, tim dari Jet Propulsion Laboratory (JPL) yang berpusat di
Pasadena, Californa, berhasil mendaratkan secara mulus wahana
antariksa di Mars, kata Administratur NASA Michael Griffin. Pendaratan
terakhir adalah Viking 2 pada tahun 1976. Selain JPL yang dikelola
NASA, pihak lain di AS yang ambil bagian dalam misi kali ini adalah
Lockheed Martin Space Systems di Denver dan University of Arizona di
Tucson.
Selama penerbangan ratusan juta kilometer dari Bumi, Phoenix
mengandalkan kebutuhan listrik pada tingkat (roket) jelajah. Roket ini
dilepaskan tujuh menit sebelum wahana pendarat Phoenix yang dibungkus
dalam selubung pelindung panas memasuki atmosfer Mars. Sejak itu
kebutuhan listrik ditanggung baterai sampai sepasang panelsurya milik
Phoenix direntangkan.
"Pendaratan yang menggetarkan!," kata Peter Smith, penanggung
jawab utama misi Phoenix dari University of Arizona. Namun, setelah
pendaratan masih harus dipastikan bahwa lengan robot sepanjang 2,5
meter yang dibutuhkan untuk mengambil contoh tanah dan es untuk
diteliti bisa dioperasikan.
Komitmen antariksa
Keberhasilan Phoenix menegaskan, meski ada pelbagai problem dunia,
seperti minyak dan pangan, yang dihadapi umat manusia hari-hari ini,
komitmen penelitian antariksa terbukti tidak surut. Negara-negara maju-
sesuai kemampuan masing-masing-tidak ingin ketinggalan dalam ikhtiar
mencari jawab teka-teki semesta dan kehidupan.
Menyusul penemuan wahana Mars Odyssey pada tahun 2002 tentang air
beku di kawasan lintang tinggi Mars, muncul ide untuk menyelidiki hal
itu lebih dalam. Phoenix adalah jawabannya. Itu sebabnya, wahana
pendarat ini dilengkapi dengan instrumen ilmiah untuk memastikan dalam
tiga bulan ke depan, apakah es di bawah permukaan pernah mencair dan
apakah sejumlah bahan kimia yang menjadi bahan baku kehidupan bisa
lestari di tanah beku.
Itu, menurut JPL NASA, merupakan pertanyaan kunci dalam
mengevaluasi apakah lingkungan di Mars selama ini cocok (favorable)
untuk menopang kehidupan tingkat mikrobial.
Ditempatkan dalam kerangka lebih luas, mencari kehidupan luar
Bumi, seolah menjadi upaya kodrati umat manusia yangingin mendapat
konfirmasi apakah dirinya satu-satunya kehidupan cerdas di alam
semesta. Boleh jadi umat manusia sejauh ini berada dalam situasi yang
mudah membawanya dalam dua sikap berlawanan. Pada satu sisi, planet
yang bisa menopang kehidupan seperti yang ada di Bumi amat langka,
bisa jadi pula satu-satunya, di alam semesta.
Pada sisi lain, pandangan itu bisa terasa arogan mengingat di alam
semesta ada triliunan bintang sehingga terlalu dini untuk menyimpulkan
tidak ada kehidupan cerdas di planet lain.
Untuk menjawab pertanyaan fundamental-dan bahkan filosofis
tersebut-dibutuhkan dedikasi dan investasi. AS, juga negara maju lain,
mengeluarkan dana miliaran dollar untuk membangun stasiun angkasa ISS
untuk basis penelitian antariksa jauh. Untuk Mars, AS bahkan
mempersiapkan eksplorasi selama bertahun-tahun, mengumpulkan data dan
informasi dari wahana yang diluncurkan sebelum ini, yakni Mars Odyssey
dan Mars Reconnaissance Orbiter. Dana memang banyak dibutuhkan. Untuk
misi Phoenix saja biayanya 386 juta dollar AS, atau sekitar Rp 3,6
triliun (Leonard David, Space.com, 10/1/2007).
Tantangan teknologi dan finansial selalu saja terjawab. Visi
mengenai tantangan masa depan umat manusia ikut membentuk munculnya
kebijakan yang tampaknya tidak dikaitkan urusan hidup sehari-hari di
atas.

Kesenjangan bumi-langit
AS dalam misi Phoenix menggalang kerja sama luas mengingat
kompleksnya teknologi yang terlibat dan luasnya cakupan misi. Selain
ketiga lembaga di AS, masih ada Kanada (Canadian Space Agency) yang
memasok stasiun cuaca bagi Phoenix, yang juga diharapkan memberikan
info tentang perubahan iklim yang diduga pernah terjadi di Mars. Juga
Universitas Neuchatel, Swiss; juga ada Universitas Copenhagen dan
Aarhus, Denmark; Institut Max Planck, Jerman; dan Institut Meteorologi
Finlandia.
Untuk urusan ilmu pengetahuan, umat manusia sering dapat bersatu,
bekerja sama menjawab tantangan bersama. Dengan upaya semacam itu,
sejauh ini telah dicapai prestasi ilmiah besar di berbagai bidang
sains.
Ketika manusia kini dihadapkan pada tantangan survival yang tak
ringan, khususnya soal pangan, energi, dan lingkungan hidup, semangat
kerja sama itu pula yang seharusnya mewarnai upaya manusia. Namun,
tampaknya justru di bidang-bidang di atas manusia memperlihatkan
egoisme nasionalistik.
Pada sisi lain, meskipun kerja sama ilmiah tampak lebih mudah
dibangun di bidang antariksa, tingkat kemampuan yang ada bisa
diibaratkan antara bumi dan langit. Negara berkembang seperti
Indonesia tentu saja sekarang ini hanya bisa melihat dengan takjub
bahwa justru ketika ia sedang dihadapkan pada urusan kebutuhan dasar,
negara maju berhasil mendaratkan wahananya di Planet Mars.
Tanpa melupakan langkah-langkah yang dibuat Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (Lapan), kita melihat dengan gamblang
kesenjangan itu, betapa negara adidaya AS telah mencapai penguasaan
iptek antariksa yang sedemikian jauhnya, sementara kita belum beranjak
dari urusan pemenuhan kebutuhan dasar.

Source : Kompas Daily, Wednesday, May 28, 2008.

1 comment:

Blogger said...

If you'd like an alternative to casually dating girls and trying to find out the right thing to do...

If you would prefer to have women hit on YOU, instead of spending your nights prowling around in noisy bars and night clubs...

Then I urge you to watch this eye-opening video to unveil a amazing little secret that might get you your very own harem of sexy women:

FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM...