Tuesday, May 13, 2008

Minimalis, tetapi Ekspresif di Layar Lebar


Minimalis, tetapi Ekspresif di Layar Lebar

(by : Yulvianus Harjono)

Siapa yang tidak ingin jadi bintang film, sutradara, atau produser sekalipun? Asalkan punya ide, kreativitas, dan kemauan besar, tanpa perlu ikut casting, berpenampilan fisik oke, atau berbujet besar, cita-cita ini bisa dan mudah terwujud. Siapa tahu, dapat diapresiasi publik. Inilah gagasan yang melatarbelakangi lahirnya film indie.

Sejak diperkenalkan di negeri Paman Sam pada tahun 1990-an, penggiat-penggiat film indie, baik yang serius maupun sekedar coba-coba pun bermunculan. Menjadi suatu bagian sub-sub kultur yang menonjolkan ekspresionisme dan kebebasan dalam berkarya. Di Bandung, komunitas-komunitas moviemaker bermunculan di sekolah dan kampus.

Komunitas itu salah satunya After School Homework. Kelompok penggiat film yang anggotanya kebanyakan mahasiswa ini terbentuk dari ”iseng-iseng”. Dari sebuah project pembuatan film kenangan pensi di SMAN 7 Kota Bandung. ”Ketika sudah lulus, kangen ngumpul, muncul ide buat film lain,” ujar Dimas Triya (19), salah satu anggota After School Homework.

Saat ini, setidaknya sudah empat film indie yang dihasilkan komunitas itu. Salah satu karyanya, ”Teh Manis Panas”, berhasil menyabet penghargaan Film Terbaik Pilihan Penonton dalam Ganesha Film Festival (Gaffest) 2008, pekan lalu. Uniknya, pembuatan film yang mengangkat persoalan cukup berat, yaitu skizofrenia, ini hanya bermodalkan ”dengkul”.

Handycam (kamera)-nya pinjam. Yang lain, misal lighting, lampu halogen, pakai seadanya. Murah banget kok biayanya,” ucap pria yang berkostum artifisial Agus Ringgo ini saat ditemui. Teknologi dewasa ini cukup memanjakan moviemaker. Tidak perlu lagi pakai film seluloid atau kamera 35 milimeter yang mewah. Cukup pakai kamera high-definition DVD, koneksi fire-wire dan piranti lunak non-linear system editing (edit film), karya sebaik One Six Right yang dirilis di Amerika Serikat, November 2006 pun tercipta. Kocek pun terjangkau, hanya USD 300 (Rp 2,7 juta) !

”Peralatan atau kamera bukanlah segalanya. Konsep dan ide, itulah kekuatannya,” ujar Nugraha Agung Triyudanta, anggota Lembaga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Buktinya, film-film yang menyabet penghargaan di Giffest 2008 itu mayoritas bukan film yang digarap semiprofessional, menggunakan kamera 32 atau 16 mm. Sebut saja misalnya Peronica karya Laely Laksono atau Berikan Aku Kesempatan. Karya-karya itu mampu bersaing dengan film-film semipro garapan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

”Film dengan teknis terbaik belum tentu bisa jadi film yang baik. Jika, aspek lain yang lebih penting macam konten dan penguasaan peran, tampak janggal. Film yang baik adalah film yang mampu membawa penonton larut dalam emosi pemainnya,” ujar Aryani Darmawan, kritikus film dari Bandung.

Industri film nasional

Ia melihat, perkembangan film-film indie saat ini demikian pesat. Temanya jauh lebih luas. Tidak melulu tentang percintaan atau persahabatan. Melainkan, lebih berbobot dan berani macam persoalan psikologis, nasionalis, bahkan urban-sosial. Idealisme, itulah keungggulan nyata dalam film-film yang digarap secara indie.

”Spirit, cita-cita mewujudkan keinginan atas suatu hal yang sangat lepas, spontan, tidak terintervensi pihak lain. Kebebasan, itulah kekuatan film indie,” ujar Sutradara Film Denias John de Rantau. Menurutnya, keberadaan film atau komunitas indie secara tidak langsung ikut berkontribusi dalam pengembangan industri film nasional. Setidaknya, dari hal kekayaan ide. Memberi alternatif di tengah dominasi film bertemakan percintaan atauhoror yang meski populis, namun tidak memiliki visi.

Sineas yang mengawali karirnya dari film indie ini memberi apresiasi khusus terhadap komunitas moviemaker indie di Bandung. ”Spirit film indie Indonesia harusnya ada di Bandung. Karena festival-festival, misalnya Comfest di Jakarta, kan bermula di Bandung. Festival penting untuk menumbuhkan apresiasi,” ucap de Rantau.

Pertanyaannya kini, bagaimana peluang film indie di tengah maraknya film-film layar lebar garapan major label saat ini ? Menurut Lintang G., Bisnis Manajer Marshall Plan, salah satu distributor film indie di Indonesia, layaknya seni lukis, ekspresionisme dari idealisme seniman (pembuat film) merupakan nilai paling berharga. Hal yang sulit ditemui dari film-film major label.(Kompas Copyright)

No comments: