Kompas.com 2.0
CERMIN MASA DEPAN INDUSTRI MEDIA DAN JURNALISTIK
Oleh Ninok Leksono
". (Perkembangan yang terjadi di internet sekarang ini) adalah
tentang si banyak yang merebut kuasa dari si sedikit, dan saling bantu
satu sama lain tanpa mengharapkan imbalan, dan bagaimana itu semua
tidak hanya akan mengubah dunia, tetapi juga mengubah cara dunia
berubah."(Lev Grossman, Time, 2006)
Piala atau penghargaan bukan tujuan. Namun, tatkala ia datang pada
momen penting, besarlah artinya. Ini pula yang dapat dikatakan tentang
dua penghargaan yang diterima oleh situs www.kompas.com dalam sepekan
terakhir.
Pekan ini, Kompas.com meraih penghargaan terkait dengan tren
pemasaran baru-dikenal sebagai New Wave Marketing-dari MarkPlus.
Sebelumnya, Sabtu (24/5), Kompas.com meraih Cakram Award untuk
kategori perusahaan pengelola portal berita. Kedua penghargaan
diterima sepekan sebelum megaportal Kompas.com diluncurkan Kamis malam
ini.
Dua penghargaan itu membawa argumen yang bersemangat sama. Di sana
ada elemen "terobosan" yang, menurut Ketua Panitia Cakram Award Adji
Dharmoyo, membawa semangat untuk menjadi yang terunggul, ada
kreativitas, efektivitas, daya juang, keunikan, kejelian membaca
peluang, dan kemampuan mengubah ide menjadi kerja atau produk nyata
(Kompas, 25/5).
Sementara itu, MarkPlus menilai Kompas Gramedia melalui megaportal
Kompas.com telah memelopori pendekatan pemasaran baru, membangun
relasi partisipatif dan kolaboratif dengan penggunanya, hal yang
menurut CEO MarkPlus Hermawan Kertajaya "tidak terhindarkan karena
tuntutan kreativitas yang didorong perkembangan teknologi digital".
Kompas Online & "beyond"
Oleh pendiri Kompas, dalam hal ini Jakob Oetama, Kompas. com yang
terlahir sebagai Kompas Online pada 14 September 1995 divisikan
sebagai Kompas masa depan yang senantiasa muda (rejuvenated), segar
dalam kemasan teknologi mutakhir. Pandangan tersebut tidak saja
visioner, tetapi juga pragmatis mengingat dalam riwayatnya, media
cetak-sebagaimana dialami Kompas dalam wujud orisinalnya-terpagar
dalam berbagai kendala, bahkan hingga hari ini.
Naiknya harga kertas koran setiap kali juga menyadarkan pengasuh
media cetak bahwa ada elemen produksi yang bisa menjadi kuda liar,
lebih-lebih ketika ia semakin terkait dengan perekonomian global, dan
boleh jadi juga lingkungan.
Bahkan, di kalangan aktivis media baru sering pula tercetus
ungkapan yang nuansanya menyindir media cetak bahwa "Zaman Batu
berakhir bukan karena orang kehabisan batu, tetapi karena telah
ditemukan teknologi baru yang lebih baik".
Kompas Online semula hanya memuat edisi cetak, tetapi secara
bertahap kemudian diperkaya oleh konten-konten yang khas dengan medium
internet, yang dalam kerangka Web 1.0 masih bertumpu pada pemutakhiran
berita (news update).
Media online yang mulai bertumbuh medio 1990-an meminjam pepatah
berita adalah "history in the making" dari media televisi global,
yang semenjak Perang Teluk, Januari 1991, mempraktikkan jurnalisme ini.
Kompas.com 2.0
Penulisan di atas diharapkan mengingatkan orang pada Web 2.0 yang
jadi populer menyusul konferensi yang diselenggarakan oleh O'Reilly
Media tahun 2004. Meski masih harus melakukan penyempurnaan,
Kompas.com yang sejak Agustus 1998 dikelola oleh PT Kompas Cyber Media
telah menjadi praktisioner awal jurnalisme dan bisnis online di Tanah
Air.
Namun, ada perkembangan lain yang mau tak mau harus diperhitungkan
oleh pengelolanya, bahkan juga oleh perusahaan induk yang memayunginya
(Kompas Gramedia). Perkembangan tersebut terkait dengan berubahnya
gaya hidup dan pola masyarakat dalam mendapatkan informasi.
Perubahan masyarakat ini ditandai pula dengan lahirnya apa yang
disebut Generation C, atau Generasi Digital, untuk menyebut mereka
yang lahir di paruh kedua 1980-an atau paruh pertama 1990-an. Mereka
inilah digital native yang "dari sononya" memang lebih akrab dengan
gadget (peranti), seperti HP, PDA, dan sejenisnya.
Orientasi Kompas.com pun lalu membutuhkan arah baru (redirection).
Itu sebabnya, Taufik H Mihardja, yang kini menjadi nakhoda Kompas.com,
menghadirkan Kompas.com baru, yang dari sosok fisik maupun semangatnya
mengakomodasi perkembangan di atas.
Kalau polesan Taufik dan timnya, yang juga mendapat dorongan penuh
dari CEO Agung Adiprasetyo, amat mengedepankan forum dan komunitas,
selain berita, itu tak lebih dari respons memenuhi panggilan zaman.
Definisi Web 2.0 menyebut pemanfaatan teknologi www dan desain web
dewasa ini ditujukan untuk meningkatkan kreativitas, berbagi
informasi, dan-paling nyata dari semuanya-kerja sama di antara
pengguna. "Konsumen ingin lebih partisipatif," kata Hermawan.
Memacu jurnalisme
Dalam kerangka Web 2.0, sebetulnya bukan hanya bisnis yang dipacu,
tetapi juga jurnalisme. Ini karena dalam aspek komunitas yang didorong
oleh Web 2.0 terkandung juga elemen jurnalisme, dalam hal ini yang
paling alamiah adalah jurnalisme warga. Kini berbagai informasi, baik
yang hard seperti berita maupun yang soft, banyak diperoleh dari blog.
Muncul pertanyaan, apakah blog merupakan masa depan jurnalisme?
Sebelum ini, jurnalisme online acap dikritik karena semata
mengedepankan kecepatan dan mengorbankan akurasi sehingga sempat
dijuluki jurnalisme, "Get it first, then get it right". Namun, dengan
semakin dewasa, kini sudah ada mekanisme self-correcting.
Semuanya tampak sebagai bagian dari proses redefinisi jurnalisme.
Dalam konteks inilah kita melihat peluncuran kembali Kompas.com,
Kamis malam ini, sekaligus juga sebagai cermin arah besar bisnis media
dan jurnalisme, tidak saja di Tanah Air, tetapi juga di dunia.
(Kompas Daily Copyright, Publish @ 29/5/2008)