Sunday, July 20, 2008

Napak Tilas Sejarah Peradaban di Tahura



Wisata
Napak Tilas Sejarah Peradaban di Tahura

Berwisata sambil berolahraga tentu sudah biasa. Namun, jika bisa menambah wawasan budaya dan sejarah peradaban, itu istimewa. Keistimewaan itu dapat kita peroleh dengan berwisata salah satunya di Taman Hutan Ir. Juanda di Bukit Dago Pakar, Bandung.

Menurut catatan sejarah, kawasan yang dilindungi ini merupakan salah satu bekas situs purbakala. Di tempat ini ditemukan berbagai artefak peradaban manusia prasejarah dari zaman 6 ribu tahun silam. Masa di mana ketika Kota Bandung dan sekitarnya masih berbentuk danau purba yang dipicu ledakan gunung purba pada 11 ribu tahun lalu.

Sebagian artefak yang mayoritas berupa senjata macam kapak jasper, mata panah obsidian, hingga tombak perunggu dari zaman neolitikum ini tersimpan di museum yang berlokasi di tempat sama. Nama Pakar yang menjadi penanda kawasan di Bandung Utara diambil dari istilah ”Pakarangan” atau tempat pembuatan senjata manusia prasejarah.

Berkeliling di kawasan seluas 526,98 hektar ini, pikiran kita pun diajak berfantasi. Membayangkan suasana ribuan bahkan puluhan tahun silam yang dipancing dari berbagai artefak, benda sejarah, atau keunikan panoramanya. Jika tidak percaya, cobalah kunjungi dua obyek unggulan di tempat ini, yaitu Goa Belanda dan Jepang. Tempat yang gelap dan dingin. Sedingin mitos dan ceritanya.

Dari luar, kedua goa ini sungguh terlihat menyimpan tantangan dan misteri. Jika Anda punya cukup nyali, cobalah melangkah tanpa bantuan senter. Mengingat, tidak ada satu pun cahaya lampu penerangan di kedua goa. Jika lupa membawa senter, Anda tidak perlu khawatir. Tersedia penyewaan senter bertarif Rp 3.000 per buah. Dan, ada baiknya Anda meminta bantuan pendamping (guide) untuk berkeliling.

Bukan apa-apa. Ini untuk menghindari kita tersesat di dalam. Belum lagi, terkait potensi informasi yang didapat. Goa Belanda yang berjarak 300 meter dari pintu utama awalnya dibuat di tahun 1812. Ruangnya diperbanyak tahun 1918 dan dimaksimalkan fungsinya di 1941. Goa ini memiliki 15 cabang lorong, tiga diantaranya menghubungkan dengan pintu masuk, tinggi 3,2 meter, dan luas total sekitar 750 meter persegi.

Ruang tahanan di gua

Awalnya, gua ini didesain sebagai terowongan air untuk menggerakkan turbin di PLTA Bengkok (sekarang). Mengingat letaknya yang strategis, fungsinya dirubah sebagai pusat telekomunikasi. Lalu menjadi pusat penyimpanan senjata dan mesiu setelah diambil alih tentara Jepang. Di sini bisa ditemui ruang tahanan dan radio komunikasi. Jika memasuki ruangan-ruangan ini, sepintas tidak terbersit fungsi-fungsi itu. Karena, nyaris tidak ada ornamen tersisa. Yang terasa hanyalah udara dingin (meski siang hari) dan keheningan.

Konon, ada pula sebuah ruangan tempat penyiksaan tawanan perang. Di lorong utama (dari pintu masuk) tersedia rel untuk lori sepanjang 100 meter. Konon, kendaraan pun bisa masuk di tempat ini mengingat besarnya lorong kedua (tinggi 3,25 meter dan lebar 4 meter). Gua ini tembus ke bagian belakang bukit yang menjadi jalan potong para pelancong ke daerah Maribaya yang berjarak 5 kilometer.

Berbeda dengan gua peninggalan Belanda ini, Gua Jepang tampak lebih alamiah. Lantainya hanya terbuat dari tanah, berbentuk gumpalan-gumpalan bundar akibat proses kondensasi (pendinginan). Tingginya hanya 2,50 meter, disesuaikan dengan tinggi orang Jepang ketika itu. Konon, pembangunan gua ini menggunakan sistem romusha. Sehingga, tidak sedikit pribumi yang sakit, bahkan mati di tempat ini.

Gua yang sempat digunakan untuk shooting Film Si Buta dari Goa Hantu (1970) ini menurut cerita warga menyimpan kisah mistis pula. ”Di sini ada larangan tidak boleh bicara haneut (panas),” tutur Ajim (30), guide yang juga warga setempat. Pantangan ini sudah muncul turun temurun sejak puluhan tahun silam. Menurut Ajim, gua yang sempat menjadi tempat shooting sebuah tayangan mistis di layar kaca ini dahulu dijaga kuncen.

Sayangnya, obyek wisata ini tidak terlepas dari tindak vandalisme pengunjung. Di beberapa dinding gua, baik luar maupun dalam terlihat bekas corat-coret. Kabel dan lampu yang dulu sempat dipasang pun hilang. Padahal, obyek ini merupakan salah satu warisan sejarah.(Yulvianus Harjono)

No comments: