Pilwalkot Bandung
Menguji Ketangguhan ”Lalakon” dengan Santun
”Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya,” tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda dalam Diskusi Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Bandung yang diadakan Harian Kompas Jabar bekerjasama dengan Bandung Spirit, Senin (21/7).
Dalam konteks ini, tentu saja diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung ke depan yang bersifat mengayomi, tegas, visioner melihat persoalan, namun santun dan memiliki keberpihakan pada adat tradisi. Mengingat, sebagai ibukota tatar priangan, Kota Bandung dikenal memiliki masyarakat yang santun dan ramah. Juga, toleran dan terbuka terhadap ide perubahan.
Makanya, menurut Tjetje Hidayat Padmadinata, pengamat politik, pertarungan di dalam Pilwakot ini tidak ubahnya kompetisi para lalakon (tokoh) di Kota Bandung. Jadi, bukan sebuah ”perang” politik. ”Jangan ada kebencian dan permusuhan. Kampanye pun janganlah jor-jor-an.” tuturnya. Strategi pemenangan harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan santun. Adu pemikiran, bukan kekuatan massa.
Dalam rangkaian pengalaman Pilkada, ketokohan dan pencitraan ini terkadang memang lebih menentukan daripada faktor infrastruktur (kekuatan partai politik). Survei yang dilakukan Litbang Kompas pun ikut menegaskan hal ini. Karakter yang diinginkan responden dari calon Wali Kota Bandung adalah jujur (27,4 persen), peduli kepada rakyat (23,9), tegas (7,7) dan berwibawa (6,5).
Posisi incumbent, ucap Tjetje, memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, menaikkan popularitasnya. Namun, di lain pihak, menurunkan citranya di masyarakat bila kinerjanya itu buruk. Dukungan mayoritas kursi di legisiatif (25 kursi) bagi pasangan Dada Rosada-Ayi Vivananda belum tentu jadi jaminan kesuksesan. Berkaca pada kasus Pilkada Jabar, tokoh-tokoh baru dan muda justru mendapat simpati lebih dari pemilih.
Percaya diri
Kondisi inilah yang menimbulkan kepercayaan diri pasangan E. Hudaya Prawira-Nahadi. Terang-terangan Hudaya menyatakan, dua kunci strategi kampanyenya ke depan adalah pencitraan di media dan dukungan relawan. ”Makanya, program kami tidak akan berupa orasi di ruang terbuka dan semacamnya,” ucapnya. Sistem door to door dalam memikat calon pemilih akan lebih dikedepankan. Ia optimis, kehadirannya sebagai calon independen di Pilwakot ini akan memincut segmen calon pemilih apatis alias golput.
Saat ditanya apakah sistem politik tanpa infrastruktur ini otomatis berkonsekuensi pada biaya, ia menjawab, ”Justru, tidak ada yang berlebihan. Apa adanya saja. Kami kan bukan diusung parpol. Tidak ada deal-deal politik. Yang ada adalah deal agar membawa Bandung ke arah yang lebih baik,” tuturnya.
Pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi pun tidak ketinggalan langkah. Dalam diskusi di Graha Kompas-Gramedia itu, Taufikurahman yang juga dosen di ITB, dengan lugas menyatakan akan meminta dukungan dari elemen perguruan tinggi dan civitas akademika di dalamnya. Ini tentu akan menambah ”amunisi” dukungan mengingat Partai Keadilan Sejahtera merupakan parpol pendulang suara terbesar dalam Pemilu 2004 lalu di Kota Bandung
Seolah berkaca dari pengalaman Pilkada Jabar, pasangan Dada-Ayi lebih banyak ”turun” ke masyarakat dalam berkampanye. Kian rajin menemui basis pendukungnya di berbagai kelompok masyarakat. Kesibukannya menjelang dan masa kampanye itu bahkan disebut-sebut melebihi kepadatan jadwalnya saat masih aktif sebagai pejabat Wali Kota. Pengalamannya mengenal dan juga dikenal lebih dulu oleh publik Kota Bandung tentu menjadi modal yang membedakan dengan kedua pasangan calon lainnya.
Namun, hasil akhir tentu akan berpulang kepada masyarakat pemilih. Lakon mana yang akan memenangkan kompetisi politik hanya akan diketahui pada hari pencoblosan, 10 Agustus mendatang.(Yulvianus Harjono)
No comments:
Post a Comment