Warna-warni ”Pop” di Pilwakot Bandung
Fathina Galib (20), mahasiswa Universitas Padjadjaran, terheran-heran saat menyaksikan pertama kali deretan poster di sebuah kawasan di Buah Batu. ”Dari jauh, saya pikir itu (poster) promosi film baru Project Pop. Barangkali aja pemainnya baru. Eh, tau-tau-nya, ternyata calon wali kota (Bandung),” tuturnya sambil tertawa, Jumat (25/7).
Fathina bisa jadi bukanlah orang pertama yang kecele poster itu. Siapa pun yang pertama kali melihatnya, pastilah akan berpikiran sama. Adalah pasangan calon wali kota Bandung Taufikurahman - Triesnahadi (Abu Syauqi) sang pembuat sensasi itu. Di dalam poster itu, kedua pasangan ini berpose layaknya sepasang lakon film action lengkap pula dengan tipografi yang lazim muncul di poster sinema.
”Trendi” demikian bunyi judul besarnya di poster itu. Di sub-judul, muncul kata-kata ”Menuju Bandung yang Kreatif, Nyaman, dan Sejahtera”. Lengkap sudah kelaziman poster film lewat munculnya label informatif tagline (jadwal) yang berisi : ”Coming Soon Bandung, 10 Agustus 2008 (hari H pencoblosan Pilwalkot Bandung) pada bagian bawah poster.
Isi poster ini seolah mendobrak stigma politik dari unsur-unsur konvensional yang sarat formalistik dan kekauan. Warna pop atau produk kebudayaan massa kental terlihat dari pernak-pernik kampanye pasangan calon yang diusung Partai Keadilan Sejahtera ini. Saat dan menjelang kampanye, pendukung meneriakkan yel-yel yang nadanya meminjam lagu ”We Will Rock” dari grup band kenamaan Queen.
Di berbagai sudut kota, khususnya di dekat-dekat kampus dan pusat perbelanjaan, terpampang baliho besar bertuliskan ”Trendi” yang tipografinya ”membajak” desain logo produk operator telepon seluler : Flexi, lengkap dengan warna khas merah dan hijaunya. Desain khas inilah yang paling berkesan bagi Fathina Galib (20), mahasiswi, berbicara tentang pasangan calon ini. ”Soalnya, banyak ditempel di angkot,” ucapnya yang menilai tipografi nama pasangan calon ini sangat eye catching.
Pasangan calon lainnya pun tidak mau ketinggalan. Meski sudah cukup populer di mata masyarakat Bandung, Dada Rosada yang incumbent itu tetap memanfaatkan budaya pop untuk berkampanye. Medianya lebih masif, yaitu album musik. ”Da da da” demikian judul album yang berisi tujuh lagu itu. Satu lagu, yaitu Burung Berkicau dicipta langsung olehnya. Sisanya dihasilkan sekaligus dinyanyikan Doel Sumbang.
Pembelotan politisi
Video klip-nya pun kerap ditayangkan di sejumlah stasiun televisi swasta lokal, menjelang dan selama masa kampanye ini. Agar menarik, model-model yang digunakan di dalam video klip ini rata-rata adalah remaja. Meski, lagunya dinyanyikan dalam bahasa Sunda. di dalam album dan video klip-nya, Dada tampak mengenakan setelan jaket kulit. Tidak lazimnya dikenakan politisi yang umumnya berpose formal dengan jas atau safari.
Seolah-olah menjadi ”pembelotan” kelaziman kostum politisi. Seperti kita ketahui bahwa jaket kulit ini ikut menjadi simbol budaya pop di era awal Rock n’ Roll, tahun 1950-an. Lewat kostumisasi itu, Dada yang diketahui merupakan calon wali kota paling senior, 61 tahun ini, tampak sedikit lebih muda. Pasangan calon lainnya, Hudaya-Nahadi, sebetulnya, juga mencoba mendongkrak popularitas mereka lewat unsur budaya populer, menerbitkan album lagu. Tetapi, sayangnya, itu belum terealisir hingga kini.
Menurut Hendy Hertiasa, pengajar Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, warna budaya populer dan kreatif yang muncul dalam Pilwalkot Bandung ini adalah fenomena baru di dunia politik. Warna yang dimunculkan ini tidak terlepas upaya pencitraan baru pemimpin lama. ”Kalau terlalu formal (kaku), image-nya di masyarakat akan buruk. Orang-orang lama ini kan rentan dengan image di masa lalu,” tuturnya.
Penggiat budaya kreatif yang aktif di Common Room ini melihat, masuknya pop di dalam kampaye Pilwalkot Bandung ini menyiratkan pula, target audiens yang dibidik terutama adalah pemilih pemula atau remaja. ”Di Bandung, pemilih pemula ini kan juga mewakili kelompok urban. Pelajar, mahasiswa, dan remaja. Jumlahnya itu tidak sedikit,” tuturnya. Dan, memberi sinyal, politik bukanlah benda mati. Tetapi, juga tumbuh dalam budaya masyarakat (dalam hal ini budaya pop dan kreatif).(Yulvianus Harjono)