Bukan sekali ini saja aku berbicara tentang matahari. Tidak lagi terhitung kata yang hadir dari dia.
Namun, tidak ada bosan-bosannya jua lidah ini mengecap pujian kepada matahari.
Sebuah cinta yang tidak ada habis-habisnya, meski kadang ia membuatku silau, terbakar dan bahkan mati tertikam bayangan gelap pekat yang tercipta dari sinarnya.
Karena, dialah sumber energi berbagai materi dan mahkluk hidup. Pusat konstelasi antarplanet sebuah sistem surya dalam jagat antariksa.
Titik-titik fragmen yang membuat rangkaian indah bimasakti, sebuah galaksi muda berbentuk spiral yang kita tinggali saat ini.
Menciptakan pemandangan spektakuler di langit yang selalu membuatku takjub akan Sang Pencipta dan karya2-nya.
Matahari pula yang membuatku terkagum-kagum akan supernova.
Sebuah peristiwa matinya bintang senja. Tapi, dari ledakan besar itu, akan tercipta lagi sebuah bintang muda baru.
Layaknya siklus kehidupan, misteri terbesar ciptaan Tuhan. Seperti Ia mencipta aku dan kamu. Akan terus abadi, dalam bentuk anak cucu dan kehidupan lain.
Aku masih duduk termenung di sini.
Di ruang berubin emas yang indah, menyala. Namun, dingin sampai menusuk tulang.
Aku kini tinggal di malam hari. Hanya ditemani bintang, sesekali meteor, dan beragam konstelasi galaksi yang membentuk terpal berwarna perak indah di angkasa.
Tidak ada langit biru, awan jingga, dan pelangi yang biasa aku suka
Karena, baru kemarin aku mengucapkan perpisahan kepada sang mentari jingga.
Aku melambungkan doa ke angkasa.
Meminta agar sekali ini saja Tuhan jelas menunjukkan matahari sejati mana yang bisa aku andalkan energinya utk menemani hidupku selamanya.
Sunyi....Tidak ada jawaban. Tidak ada suara. Hanya ada semilir angin yang makin dingin.
Aku butuh kekuatan Tuhan. Karena, berkali-kali aku pikiran dan emosi hati ini mengantarku ke mentari yang tidak tepat.
Aku pun mulai gelisah.
Membayangkan bagaimana caranya menemukan mentari sejati yang tepat.
Bagaimana tidak sulit? Di luar sana, di galaksi bima sakti saja, setidaknya ada 200 miliar mentari. Jauh lebih banyak dari penghuni bumi yang hampir 5 miliar ini.
Dari kejauhan, mereka pun terlihat serupa. Hanya skala kekuatan sinarnya yang berbeda. Ada yang putih, biru, kuning, merah, bahkan dwarf.
Aku tidak ingin terlalu lama tinggal di malam hari. Cinta rembulan kepadaku terasa semu.
Aku ingin segera menemui mentari.
Yang sinarnya bisa membuatku takjub.
Panasnya yang bisa meluluhkan mata hatiku yang dingin, bahkan beku.
Bukan sebaliknya, justru membuatku buta, terbakar, bahkan mati...
Okh, cukup....Aku tidak ingin seperti dulu lagi.
Sungguh aku mendambanya, lebih dari apa pun di jagat raya ini.
Saat aku mulai putus asa, terdengar suara dari ufuk timur.
Ternyata dia Bintang Kejora. Dia dijuluki Sang Bintang Timur.
Bintang yang menjadi tanda lahirnya sang penebus dosa di Betlehem.
Cahayanya sungguh sangat indah. Aku terbuai....Sinarnya masuk ke relung hatiku.
Ia memunculkan suara, "Aku menyiapkan mentari terindah untukmu".
Tersentak hatiku dipenuhi kedamaian....
Ia ternyata menggandeng mentari bermahkotakan permata.
Mentari yang memiliki sinar yang sangat lembut dan amat mencintai Pencipta-nya.
Aku sungguh kagum akan mentari itu.
Baru kali ini, kedamaian muncul di relung hati....
(written by Yulvianus Harjono)
This poem is dedicated to everyone who still searching the beloved one. God will helps us to find him/her. Dedicated to someone who admire a milky way and still searching her love.