Friday, July 25, 2008

Warna-warni ”Pop” di Pilwakot Bandung


Warna-warni ”Pop” di Pilwakot Bandung

Fathina Galib (20), mahasiswa Universitas Padjadjaran, terheran-heran saat menyaksikan pertama kali deretan poster di sebuah kawasan di Buah Batu. ”Dari jauh, saya pikir itu (poster) promosi film baru Project Pop. Barangkali aja pemainnya baru. Eh, tau-tau-nya, ternyata calon wali kota (Bandung),” tuturnya sambil tertawa, Jumat (25/7).

Fathina bisa jadi bukanlah orang pertama yang kecele poster itu. Siapa pun yang pertama kali melihatnya, pastilah akan berpikiran sama. Adalah pasangan calon wali kota Bandung Taufikurahman - Triesnahadi (Abu Syauqi) sang pembuat sensasi itu. Di dalam poster itu, kedua pasangan ini berpose layaknya sepasang lakon film action lengkap pula dengan tipografi yang lazim muncul di poster sinema.

”Trendi” demikian bunyi judul besarnya di poster itu. Di sub-judul, muncul kata-kata ”Menuju Bandung yang Kreatif, Nyaman, dan Sejahtera”. Lengkap sudah kelaziman poster film lewat munculnya label informatif tagline (jadwal) yang berisi : ”Coming Soon Bandung, 10 Agustus 2008 (hari H pencoblosan Pilwalkot Bandung) pada bagian bawah poster.

Isi poster ini seolah mendobrak stigma politik dari unsur-unsur konvensional yang sarat formalistik dan kekauan. Warna pop atau produk kebudayaan massa kental terlihat dari pernak-pernik kampanye pasangan calon yang diusung Partai Keadilan Sejahtera ini. Saat dan menjelang kampanye, pendukung meneriakkan yel-yel yang nadanya meminjam lagu ”We Will Rock” dari grup band kenamaan Queen.

Di berbagai sudut kota, khususnya di dekat-dekat kampus dan pusat perbelanjaan, terpampang baliho besar bertuliskan ”Trendi” yang tipografinya ”membajak” desain logo produk operator telepon seluler : Flexi, lengkap dengan warna khas merah dan hijaunya. Desain khas inilah yang paling berkesan bagi Fathina Galib (20), mahasiswi, berbicara tentang pasangan calon ini. ”Soalnya, banyak ditempel di angkot,” ucapnya yang menilai tipografi nama pasangan calon ini sangat eye catching.

Pasangan calon lainnya pun tidak mau ketinggalan. Meski sudah cukup populer di mata masyarakat Bandung, Dada Rosada yang incumbent itu tetap memanfaatkan budaya pop untuk berkampanye. Medianya lebih masif, yaitu album musik. ”Da da da” demikian judul album yang berisi tujuh lagu itu. Satu lagu, yaitu Burung Berkicau dicipta langsung olehnya. Sisanya dihasilkan sekaligus dinyanyikan Doel Sumbang.

Pembelotan politisi

Video klip-nya pun kerap ditayangkan di sejumlah stasiun televisi swasta lokal, menjelang dan selama masa kampanye ini. Agar menarik, model-model yang digunakan di dalam video klip ini rata-rata adalah remaja. Meski, lagunya dinyanyikan dalam bahasa Sunda. di dalam album dan video klip-nya, Dada tampak mengenakan setelan jaket kulit. Tidak lazimnya dikenakan politisi yang umumnya berpose formal dengan jas atau safari.

Seolah-olah menjadi ”pembelotan” kelaziman kostum politisi. Seperti kita ketahui bahwa jaket kulit ini ikut menjadi simbol budaya pop di era awal Rock n’ Roll, tahun 1950-an. Lewat kostumisasi itu, Dada yang diketahui merupakan calon wali kota paling senior, 61 tahun ini, tampak sedikit lebih muda. Pasangan calon lainnya, Hudaya-Nahadi, sebetulnya, juga mencoba mendongkrak popularitas mereka lewat unsur budaya populer, menerbitkan album lagu. Tetapi, sayangnya, itu belum terealisir hingga kini.

Menurut Hendy Hertiasa, pengajar Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, warna budaya populer dan kreatif yang muncul dalam Pilwalkot Bandung ini adalah fenomena baru di dunia politik. Warna yang dimunculkan ini tidak terlepas upaya pencitraan baru pemimpin lama. ”Kalau terlalu formal (kaku), image-nya di masyarakat akan buruk. Orang-orang lama ini kan rentan dengan image di masa lalu,” tuturnya.

Penggiat budaya kreatif yang aktif di Common Room ini melihat, masuknya pop di dalam kampaye Pilwalkot Bandung ini menyiratkan pula, target audiens yang dibidik terutama adalah pemilih pemula atau remaja. ”Di Bandung, pemilih pemula ini kan juga mewakili kelompok urban. Pelajar, mahasiswa, dan remaja. Jumlahnya itu tidak sedikit,” tuturnya. Dan, memberi sinyal, politik bukanlah benda mati. Tetapi, juga tumbuh dalam budaya masyarakat (dalam hal ini budaya pop dan kreatif).(Yulvianus Harjono)

Tuesday, July 22, 2008

Menguji Ketangguhan ”Lalakon” dengan Santun

Pilwalkot Bandung

Menguji Ketangguhan ”Lalakon” dengan Santun

”Tunjukkan sebuah kota. Dari situ saja kita akan tahu siapa wali kotanya,” tutur Sobirin, anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda dalam Diskusi Mengenal Sosok Kandidat Wali Kota dan calon Wakil Wali Kota Bandung yang diadakan Harian Kompas Jabar bekerjasama dengan Bandung Spirit, Senin (21/7).

Dalam konteks ini, tentu saja diperlukan sosok pemimpin Kota Bandung ke depan yang bersifat mengayomi, tegas, visioner melihat persoalan, namun santun dan memiliki keberpihakan pada adat tradisi. Mengingat, sebagai ibukota tatar priangan, Kota Bandung dikenal memiliki masyarakat yang santun dan ramah. Juga, toleran dan terbuka terhadap ide perubahan.

Makanya, menurut Tjetje Hidayat Padmadinata, pengamat politik, pertarungan di dalam Pilwakot ini tidak ubahnya kompetisi para lalakon (tokoh) di Kota Bandung. Jadi, bukan sebuah ”perang” politik. ”Jangan ada kebencian dan permusuhan. Kampanye pun janganlah jor-jor-an.” tuturnya. Strategi pemenangan harus dilakukan dengan cara yang cerdas dan santun. Adu pemikiran, bukan kekuatan massa.

Dalam rangkaian pengalaman Pilkada, ketokohan dan pencitraan ini terkadang memang lebih menentukan daripada faktor infrastruktur (kekuatan partai politik). Survei yang dilakukan Litbang Kompas pun ikut menegaskan hal ini. Karakter yang diinginkan responden dari calon Wali Kota Bandung adalah jujur (27,4 persen), peduli kepada rakyat (23,9), tegas (7,7) dan berwibawa (6,5).

Posisi incumbent, ucap Tjetje, memiliki dua mata pisau. Di satu sisi, menaikkan popularitasnya. Namun, di lain pihak, menurunkan citranya di masyarakat bila kinerjanya itu buruk. Dukungan mayoritas kursi di legisiatif (25 kursi) bagi pasangan Dada Rosada-Ayi Vivananda belum tentu jadi jaminan kesuksesan. Berkaca pada kasus Pilkada Jabar, tokoh-tokoh baru dan muda justru mendapat simpati lebih dari pemilih.

Percaya diri

Kondisi inilah yang menimbulkan kepercayaan diri pasangan E. Hudaya Prawira-Nahadi. Terang-terangan Hudaya menyatakan, dua kunci strategi kampanyenya ke depan adalah pencitraan di media dan dukungan relawan. ”Makanya, program kami tidak akan berupa orasi di ruang terbuka dan semacamnya,” ucapnya. Sistem door to door dalam memikat calon pemilih akan lebih dikedepankan. Ia optimis, kehadirannya sebagai calon independen di Pilwakot ini akan memincut segmen calon pemilih apatis alias golput.

Saat ditanya apakah sistem politik tanpa infrastruktur ini otomatis berkonsekuensi pada biaya, ia menjawab, ”Justru, tidak ada yang berlebihan. Apa adanya saja. Kami kan bukan diusung parpol. Tidak ada deal-deal politik. Yang ada adalah deal agar membawa Bandung ke arah yang lebih baik,” tuturnya.

Pasangan Taufikurahman-Deni Triesnahadi pun tidak ketinggalan langkah. Dalam diskusi di Graha Kompas-Gramedia itu, Taufikurahman yang juga dosen di ITB, dengan lugas menyatakan akan meminta dukungan dari elemen perguruan tinggi dan civitas akademika di dalamnya. Ini tentu akan menambah ”amunisi” dukungan mengingat Partai Keadilan Sejahtera merupakan parpol pendulang suara terbesar dalam Pemilu 2004 lalu di Kota Bandung

Seolah berkaca dari pengalaman Pilkada Jabar, pasangan Dada-Ayi lebih banyak ”turun” ke masyarakat dalam berkampanye. Kian rajin menemui basis pendukungnya di berbagai kelompok masyarakat. Kesibukannya menjelang dan masa kampanye itu bahkan disebut-sebut melebihi kepadatan jadwalnya saat masih aktif sebagai pejabat Wali Kota. Pengalamannya mengenal dan juga dikenal lebih dulu oleh publik Kota Bandung tentu menjadi modal yang membedakan dengan kedua pasangan calon lainnya.

Namun, hasil akhir tentu akan berpulang kepada masyarakat pemilih. Lakon mana yang akan memenangkan kompetisi politik hanya akan diketahui pada hari pencoblosan, 10 Agustus mendatang.(Yulvianus Harjono)

Saatnya ”Turun” dari Panggung Orasi

Pemilu 2009
Saatnya ”Turun” dari Panggung Orasi

Di Pemilihan Umum 2004, Partai Golkar tampil sebagai kampiun di Jawa Barat. Hasil perolehan 5, 7 juta suara, 24 kursi di tingkat pusat dan 28 kursi di provinsi sulit ditandingi partai manapun. Akhirnya, menjadi ”tulang punggung” kemenangan partai berlambang beringin ini di tingkat nasional.

Memasuki Pemilu 2009, di Jabar, Partai Golkar tidak lagi tampil se-”pede” dulu. Apa pasal? Tidak lain, ini karena kekalahan telak dalam Pemilihan Kepala Daerah Jabar, beberapa bulan lalu. Perolehan suara yang masuk pun hanya 4,49 juta orang. Padahal, di sisi lain, jumlah pemilih tetap bertambah dan begitu pun potensi suara yang muncul dari hasil koalisi partai.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jabar Uu Rukmana, Minggu (20/7) mengatakan, hasil Pilkada Jabar itu memaksa seluruh pimpinan dan fungsionaris di tubuh Partai Golkar berintropeksi diri. Terlepas dari adanya dalih, di dalam Pilkada, faktor figur jauh lebih menentukan ketimbang infrastruktur partai. Hal yang tidak lazim terjadi pada Pemilu Legisiatif.

Hasil ini pun memaksa partai bernomor urut 23 di Pemilu 2009 ini mengubah paradigma di dalam merekruit calon-calon kader yang akan dijagokan baik di dalam Pilkada kabupaten/kota maupun Pemilu Legisiatif tingkat nasional maupun daerah. ”Bukan lagi zamannya kader menunggang partai (Golkar) untuk bisa besar. Sebaliknya, Golkar kini butuh orang-orang yang berteladan untuk membesarkan partai,” ujarnya.

Selektifitas ini ikut menjadi salah satu alasan DPP Partai Golkar Jabar hingga kini belum menentukan bakal calon legisiatif untuk diajukan ke tingkat pusat maupun daerah. Fokus di hari-hari pertama masa kampanye lebih diarahkan pada konsolidasi dan strategi pemenangan pemilu. Paradigma baru berkampanye pun ikut dimunculkan.

”Ke depan, tidak ada lagi kampanye yang sekedar gagah-gagahan di panggung. Hany berorasi. Sebaliknya, akan lebih diarahkan pada program yang langsung berkaitan dengan masyarakat,” ucapnya. Paradigma baru ini jelas akan memaksa politisi dan kader untuk ”turun” panggung. Lebih sering mengunjungi konstituen dan masyarakat pemilih.

Program-program ”kecil” macam bakti sosial, sumbangan atau bantuan-bantuan, pengajian, isu kesetaraan gender hingga pertandingan olahraga bakal dibidik. Delapan kemenangan dari total 16 pilkada yang telah diselenggarakan di Jabar dijadikan modal tambahan. Wilayah-wilayah sentral macam Bandung, Priangan Timur, dan Pantura tetap jadi fokus garapan untuk mendulang suara.

Partai baru

Perjuangan Golkar untuk mempertahankan kemenangan di Jabar tentu tidak akan mudah. Bertambahnya jumlah peserta Pemilu 2009 (kini diikuti 34 partai politik), dimana 18 diantaranya adalah parpol baru, menjadi salah satu faktornya. Beberapa parpol baru itu bahkan optimis mampu meraih sukses di Pemilu 2009 mendatang.

Lagi-lagi, program kongkrit dan keberpihakan ke masyarakat langsung dijadikan jargonnya. Ini salah satunya ikut dimunculkan Partai Hanura. Menurut Ketua DPD Partai Hanura Jabar Prof. Karhi Nisjar, partainya siap tampil beda. ”Kami akan menjawab apa harapan dan keluhan masyarakat,” tuturnya. Implikasinya, program kampanye yang akan dijalankan nanti pun diarahkan ke hal-hal yang bersifat riil.

”Berbagi dalam aksi. Itu prinsip kami. Kami punya kelebihan apa, itulah yang akan dibagi ke masyarakat.meski hanya kecil. Kampanye tidak akan obral janji,” ujarnya. Kegiatan macam pengobatan gratis dan bagi-bagi sembako seperti dilakukan pekan lalu kepada 500 tukang becak di Bandung akan lebih sering dilakukan. Termasuk, kegiatan pemberdayaan usaha kecil. Percontohan ladang singkong untuk menyerap banyak tenaga kerja dan proyek energi alternatif di wilayah Garut Selatan dijadikan program andalan.

Menurut pengamat politik dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Dede Mariana, perubahan strategi parpol, termasuk Golkar, merupakan hal yang wajar. Biasa terjadi dalam politik. Namun, yang sebetulnya perlu dicermati, adalah bagaimana caranya meyakinkan dan memikat publik dengan jargon baru itu.

”Publik kan butuh kepastian. Misalnya, dengan memilih Partai Golkar, mendapat jaminan kesehatan. Masyaraat kan mulai jenuh dengan politik-politik itu-itu saja. Tidak pararel dengan kesejahteraan. Tantangan bagi parpol menciptakan jaminan itu,” tutur Dede. Dengan kata lain, kepercayaan tetap jadi faktor utama. Bukanlah sekedar memikat dalam waktu singkat (kampanye).(Yulvianus Harjono)

Sunday, July 20, 2008

Napak Tilas Sejarah Peradaban di Tahura



Wisata
Napak Tilas Sejarah Peradaban di Tahura

Berwisata sambil berolahraga tentu sudah biasa. Namun, jika bisa menambah wawasan budaya dan sejarah peradaban, itu istimewa. Keistimewaan itu dapat kita peroleh dengan berwisata salah satunya di Taman Hutan Ir. Juanda di Bukit Dago Pakar, Bandung.

Menurut catatan sejarah, kawasan yang dilindungi ini merupakan salah satu bekas situs purbakala. Di tempat ini ditemukan berbagai artefak peradaban manusia prasejarah dari zaman 6 ribu tahun silam. Masa di mana ketika Kota Bandung dan sekitarnya masih berbentuk danau purba yang dipicu ledakan gunung purba pada 11 ribu tahun lalu.

Sebagian artefak yang mayoritas berupa senjata macam kapak jasper, mata panah obsidian, hingga tombak perunggu dari zaman neolitikum ini tersimpan di museum yang berlokasi di tempat sama. Nama Pakar yang menjadi penanda kawasan di Bandung Utara diambil dari istilah ”Pakarangan” atau tempat pembuatan senjata manusia prasejarah.

Berkeliling di kawasan seluas 526,98 hektar ini, pikiran kita pun diajak berfantasi. Membayangkan suasana ribuan bahkan puluhan tahun silam yang dipancing dari berbagai artefak, benda sejarah, atau keunikan panoramanya. Jika tidak percaya, cobalah kunjungi dua obyek unggulan di tempat ini, yaitu Goa Belanda dan Jepang. Tempat yang gelap dan dingin. Sedingin mitos dan ceritanya.

Dari luar, kedua goa ini sungguh terlihat menyimpan tantangan dan misteri. Jika Anda punya cukup nyali, cobalah melangkah tanpa bantuan senter. Mengingat, tidak ada satu pun cahaya lampu penerangan di kedua goa. Jika lupa membawa senter, Anda tidak perlu khawatir. Tersedia penyewaan senter bertarif Rp 3.000 per buah. Dan, ada baiknya Anda meminta bantuan pendamping (guide) untuk berkeliling.

Bukan apa-apa. Ini untuk menghindari kita tersesat di dalam. Belum lagi, terkait potensi informasi yang didapat. Goa Belanda yang berjarak 300 meter dari pintu utama awalnya dibuat di tahun 1812. Ruangnya diperbanyak tahun 1918 dan dimaksimalkan fungsinya di 1941. Goa ini memiliki 15 cabang lorong, tiga diantaranya menghubungkan dengan pintu masuk, tinggi 3,2 meter, dan luas total sekitar 750 meter persegi.

Ruang tahanan di gua

Awalnya, gua ini didesain sebagai terowongan air untuk menggerakkan turbin di PLTA Bengkok (sekarang). Mengingat letaknya yang strategis, fungsinya dirubah sebagai pusat telekomunikasi. Lalu menjadi pusat penyimpanan senjata dan mesiu setelah diambil alih tentara Jepang. Di sini bisa ditemui ruang tahanan dan radio komunikasi. Jika memasuki ruangan-ruangan ini, sepintas tidak terbersit fungsi-fungsi itu. Karena, nyaris tidak ada ornamen tersisa. Yang terasa hanyalah udara dingin (meski siang hari) dan keheningan.

Konon, ada pula sebuah ruangan tempat penyiksaan tawanan perang. Di lorong utama (dari pintu masuk) tersedia rel untuk lori sepanjang 100 meter. Konon, kendaraan pun bisa masuk di tempat ini mengingat besarnya lorong kedua (tinggi 3,25 meter dan lebar 4 meter). Gua ini tembus ke bagian belakang bukit yang menjadi jalan potong para pelancong ke daerah Maribaya yang berjarak 5 kilometer.

Berbeda dengan gua peninggalan Belanda ini, Gua Jepang tampak lebih alamiah. Lantainya hanya terbuat dari tanah, berbentuk gumpalan-gumpalan bundar akibat proses kondensasi (pendinginan). Tingginya hanya 2,50 meter, disesuaikan dengan tinggi orang Jepang ketika itu. Konon, pembangunan gua ini menggunakan sistem romusha. Sehingga, tidak sedikit pribumi yang sakit, bahkan mati di tempat ini.

Gua yang sempat digunakan untuk shooting Film Si Buta dari Goa Hantu (1970) ini menurut cerita warga menyimpan kisah mistis pula. ”Di sini ada larangan tidak boleh bicara haneut (panas),” tutur Ajim (30), guide yang juga warga setempat. Pantangan ini sudah muncul turun temurun sejak puluhan tahun silam. Menurut Ajim, gua yang sempat menjadi tempat shooting sebuah tayangan mistis di layar kaca ini dahulu dijaga kuncen.

Sayangnya, obyek wisata ini tidak terlepas dari tindak vandalisme pengunjung. Di beberapa dinding gua, baik luar maupun dalam terlihat bekas corat-coret. Kabel dan lampu yang dulu sempat dipasang pun hilang. Padahal, obyek ini merupakan salah satu warisan sejarah.(Yulvianus Harjono)

Tuesday, July 15, 2008

Hancock, Superhero from Zero...

Film
Hancock, Superhero from Zero...


Hancock, film yang pekan ini bertengger di Top Chart Box Office di ketiga cabang Blitz Megaplex di Indonesia. Mengalahkan film lainnya yg lagi in macam Kungfu Panda, Get Smart, dan Incredible Hulk. Padahal, baru seminggu film itu diputar.
Saat menjatuhkan pilihan pada film ini, wiken lalu, awalnya saya kurang antusias. Kesan pertama, saya pikir ini adalah sebuah film dokumenter. Mengingat, (John) Hancock adalah nama Presiden AS (klo gak salah ke 2 atau 3). Tetapi, krn pilihan Hulk tidak diamini kawan, tdk terbuka lagi pilihan lainnya. Asal, jangan Indo (bulan2 ini belum muncul film lokal berkualitas soalnya).
Tidak lazim, sebuah film yang ternyata bertemakan superhero ini tdk diadaptasi dari komik Marvel yang menginspirasi film2 sukses superhero lainnya...Sebut saja Hulk, Spiderman, hingga Iron Man yang sukses beberapa bulan lalu.
Film yang dibintangi aktor yg pandai memainkan beragam karakter, Will Smith, ini memang menampilkan hal berbeda dari film bertema superhero kebanyakan. Film ini bercerita ttg Hancock, seorang zero atau tunawisma yg doyan mabuk...Namun, memiliki kekuatan sungguh dahsyat macam mengangkat mobil, menghentikan kereta, terbang, hingga kebal peluru...
Mirip Superman sekilas. Bedanya, tdk lazimnya superhero, ia tdk menyembunyikan identitasnya. Sehari-hari berpenampilan ala gembel lengkap dengan botol miras di tangannya. Adegan awalnya saja, berkejar-kejaran dengan gerombolan penjahat di tengah traffic Kota Los Angeles, cukup membuat saya demikian terkejut. Layaknya "kartun". Adegan Hancock terbang, mobil diterbangkan dan ditancapkan ke sebuah obelisk (semacam menara lancip), sungguh di luar pencernaan pikiran. Tidak sci-fi sama sekali. Apalagi, pada awal hingga tengah cerita, sang sutradara tidak kunjung menyisipkan cerita ttg asal usul sang superhero sakti ini....Baru di menjelang akhir-akhir cerita akhirnya ketahuan, tetapi itu pun tdk lengkap dan membuat benak ini penasaran.

Sepanjang sepengetahuan saya, sehebat2nya tokoh superhero dalam karakter rekaan Marvel, itu pasti dikaitkan atau coba dijelaskan secara ilmiah. Misalnya, Spiderman yang kekuatannya itu muncul krn gigitan laba2 unik. Atau, sang Tony Stark "Iron Man" yg menonjolkan kehebatan manusia dalam merakayasa teknologi dan menjadikannya senjata terdahsyat.
Terlepas dari CGI-nya yg tidak semulus Iron Man, film karya Peter Berg ini mampu memberi unsur hiburan lain yang lebih kuat. Sekali lagi, sebuah film yang menunjukkan baik sisi humanis dan individu seorang superhero. Film ini menggambarkan bahwa seorang superhero pun tdk lebihnya dari manusia yg tdk luput dari ego, perasaan kesepian dan memiliki emosi. Scene saat Hancock duduk memelas di atas atap rumah sobatnya, Ray Embrey (Jason Bateman), saat ia tengah betul-betul kesepian dan perlu diperhatikan, cukup menggugah emosi saya.
Dalam film ini, Hancock awalnya bukanlah superhero yang dielu-elukan warganya. Sebaliknya, karena kecerobohannya (berkali-kali merusak fasilitas umum saat mencoba show off melawan penjahat), menjadikannya "public enemy". Saya dan seorang teman sampai tertawa geli saat lihat adegan ketika seorang pembawa acara televisi di film itu sampai mengeluarkan opini dan unek-uneknya (mem-blame) Hancock dan memintanya menyerahkan diri...Sampai segitunya sang jagoan bertampang semrawut ini dibenci. Satu lagi nilai plus-nya, banyak adegan lucu dan mengejutkan di dalam film ini. Sayangnya, dalam bbrp adegan, salah satunya di penjara, terlihat sensor bekerja...
Perubahan terjadi manakala Hancock bertemu dgn Ray, seorang PR eksekutif yang antusias dgn konsep pencitraan love charity-nya. Sampai akhirnya, membawanya ke perjumpaan dgn orang yg tdk diduganya, Mary Embrey (diperankan si cantik Charlize Theron)..Wanita yg kemudian mjd tokoh kunci lain dan pemecah misteri dari flim ini.
Bakat besar menuntut tanggung jawab besar. Demikian pesan moral yg tegas muncul dalam film ini. Tanggung jwb sbg superhero di satu pihak, dan cinta (emosi manusia) di lain pihak dibuat dlm hal yg berlawanan di film ini. Terlepas dari adegan penutup yang mnrt saya kurang dramatis, pesan yang bisa dibawa dari film ini adalah Tuhan ternyata menciptakan kita secara berpasang-pasangan (ini pandangan subyektif saya dari film ini). Dan, acapkali mereka itu telah didekatkan ke kita. Hanya, terkadang, tanggung jawab dan rasionalitas kita yang justru telah atau terpaksa menjauhkan kita dari mereka....
Written by JON

(foto by Columbia Pictures, all right reserved)

Monday, July 14, 2008

Bertanya atau Mati!


Bertanya atau Mati!

"Jangan terlalu banyak bertanya. Seperti anak kecil saja," demikian sekilas tutur seorang kawan kepada saya di suatu malam. Sebuah komentar yang sangat mengejutkan. Mengingat, belum ada satu pun yang menyatakan hal itu secara pribadi kepada saya...
Bisa jadi, ini sebuah kritikan, bisa pula masukan. Bukan tidak mungkin pula sebuah pandangan..
Berjam-jam pula kemudian saya mencoba merenungkannya.
Renungan itu terbentur pada sebuah jawaban besar : pekerjaan saya adalah bertanya!!??
Sebagai penggelut profesi jurnalistik, bertanya adalah senjata terbesar saya untuk menggali data, fakta, bahkan mengungkap sebuah rasa. Dari bangun hingga menjelang tidur, cerebrum saya ini tdk pernah berhenti dari kegiatan tanya. Mulai dari menanyakan ke intuisi diri sendiri mengenai hal atau isu apa yang layak diikuti dan dikembangkan hari ini, trus proses menggali berita, hingga verifikasi data dengan berbagai sumber atau referensi terkait. Gugatan atau tanya menentukan berita yg kita buat nanti layak tayang dan cukup lengkap.
Tanya = kritis dan perfection.
Idiom ini telah demikian melekat. Bagi jurnalis, tanya bukan hanya cara untuk menghilangkan diri dari ketersesatan. Melainkan juga, proses menggali data dan membuat berita yang akurat, lengkap dan terpercaya.
Pengalaman saya membuktikan, dalam sebuah peliputan, ketika kita itu malu atau tidak banyak bertanya, dan menyusunnya dalam deret alogaritma di memori kepala (bukan saja di sebuah notes), maka percayalah hasilnya tidaklah akan maksimal.
Beberapa kali, ketika sudah di depan meja kerja, saya menyesal mengapa bisa lupa tdk sekalian bertanya mengenai hal yg tdk sempat terpikirkan di kepala itu saat proses wawancara. Paling vatal, adalah mengenai detail sebuah peristiwa atau topik berita. Dengan load kerja yang padat dan isu yang banyak, hal macam ini bisa saja terjadi.
Tetapi, jika mencerna perkataan sebuah wartawan senior Hariadi Saptono, ini semata-mata krn kita kurang "cerewet". "Wartawan itu harus cerewet," ucapnya. Dari kecerewetan itulah terlihat sejauhmana kita menguasai persoalan, kritis, dan kontemplatif menggali data.
"Remember, Guessing Doesn't Pay," ungkap pengajar dan mantan wartawan senior Luwi Ishwara yang pernah saya dengar awal menjadi jurnalis. Tepat sekali, kita tidak bisa menebak-nebak sebuah peristiwa atau fakta. Meski, ini terpaksa dilakukan utk melengkapi data, semata-mata krn kita lupa atau tdk cermat bertanya...
Tanya atau mati
Berbicara soal tanya, pikiran saya teringat lagi dalam sebuah peliputan di medio 2007 silam.
Sulistyo Setiawan, peneliti pengembangan kreativitas di STDI, besar-besar menuliskan kalimat "Tanya atau Mati" dalam judul seminarnya...Tertegun saya awal melihatnya. Baginya, bertanya adl proses hakiki manusia. Manusia dianggap akan mati secara mental dan psikologis jika tidak lagi mau bertanya-tanya. ”Manusia akan memanusia ketika dia bertanya,” ucapnya.
Bertanya adalah proses berpikir, mulai dari eksistensi diri kita hingga melahirkan penciptaan. Seorang Wrigt Brothers misalnya, tidak mungkin bisa menciptakan pesawat terbang jika ia tdk bertanya-tanya ttg bagaimana caranya burung bisa melayang...Namun, ia bukanlah sekedar
bertanya-tanya. Melainkan, mengembangkannya dalam dimensi analitikal dan kontemplasi. Hal yang masih langka ditemui pada dunia pendidikan tanah air yang masih mengandalkan kognisi dan hapalan memori. Bukan bertanya, kritis, secara analitik komprehensif.
Mungkin kita ingat, saat masih kecil, seringkali kita polos dan antusias bertanya-tanya tentang sekeliling yang kita temui. Jika kita punya anak yang aktif bertanya-tanya, bersyukurlah anda. Sebab, saat itu pula, anak Anda tengah dalam proses kognitif sekaligus kreatif. Mengisi sinaps atau sel-sel memorinya dengan peristiwa2 baru. Semakin sering sinaps itu diisi dengan bertanya maka kian cerdas pula anak anda!!! Jadi, tolong ladeni dan jangan acuhkan ketika anak anda itu cerewet atau banyak bertanya...
Seiring dewasa, makin enggan kita bertanya. Entah karena malu, toleransi, takut menyinggung perasaan, atau justru emang kosong melompong isi kepala....
Janganlah ragu kita bertanya.
Sebab, bertanya pun sesungguhnya punya seribu makna. Ada yang bertujuan mencari jawaban, menggali informasi, re-inviting atau inovasi, hingga mengungkapkan perhatian atau sekedar me-ngetes kemampuan seseorang. Tergantung sejauh mana motif atau tujuan anda bertanya.
Jadi, selamat bertanya-tanya....
Sebelum bertanya itu dilarang dan mengekang kebebasan berpikir kita!!!!!


Turut Berduka Cita

Turut Berduka Cita
Atas berpulangnya Tiur Santi Oktavia (TAV), rekan di Desk Gaya Hidup dan Anak Muda Harian Kompas, pada Minggu (13/7) akibat sakit kanker yang dideritanya.
Semoga arwahnya diterima di sisi-Nya dan yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan.
Hingga akhir hayatnya, almarhum memberi inspirasi dan teladan tentang perjuangan melawan penyakitnya. Biarkan prestasinya kita kenang selamanya. Termasuk, penghargaan internasional Singapore Education Award dari Singapore Tourism Board yang baru saja diberikan beberapa hari menjelang kepergiannya untuk selamanya.
..............